Harmonisasi Norma-Norma Dalam Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara di Pengadilan
Main Author: | Rochim, RiskyDianNovitaRahayu |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2014
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/156633/ |
Daftar Isi:
- Konsep mengenai kebebasan Hakim secara tegas disebutkan dalam Pancasila, sebagaimana yang terkandung di kelima sila-sila yang melingkupinya. Pembukaan (Preambule) UUD RI 1945 juga menegaskan adanya kebebasan hakim, dimana hal ini berkaitan (sebagai konsekuensi yuridis) dengan pernyataan bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum, dimana segala tindakan setiap warga negaranya dan aparatur pemerintahannya harus berdasarkan hukum, sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam penjelasan UUD RI 1945. Perwujudan preambule tersebut kemudian dijabarkan di bagian Batang Tubuh UUD RI 1945 (hasil amandemen ke-4) Pasal 24 ayat (1) dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tindakan hakim secara yuridis dalam proses membuat dan menghasilkan putusan melalui lembaga peradilan berlandaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana Pasal 182 ayat (3) menyebutkan Hakim mengadakan suatu musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan. Pasal 182 ayat (4) KUHAP menyebutkan bahwa musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Pasal 197 ayat (1) huruf e KUHAP menyebutkan, bahwa tuntutan pidana, sebagaiman terdapat dalam surat tuntutan. Selanjutnya Pasal 191 ayat (1) menyebutkan “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa di putus bebas”. Di dalam KUHAP tidak terdapat satu pasal pun yang secara tegas mengatur atau menyatakan bahwa surat dakwaan berfungsi sebagai “dasar” (landasan) pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Akan tetapi dari Pasal 182 ayat (3) dan (4) tersebut secara tersirat (implisit) dapat diketahui bahwa musyawarah majelis Hakim untuk mengambil atau menentukan putusan yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa harus didasarkan pada Surat Dakwaan. Hakim selain berpedoman pada UUD RI 1945 dan KUHAP, juga berpedoman pada Undang-Undang Peradilan diantaranya UU No.31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, UU No.9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Namun secara implisit tidak ada pasal dalam Undang-Undang Peradilan tersebut yang menyebutkan secara khusus mengenai norma tentang kebebasan hakim, sehingga terjadi ketidakharmonisan terkait dengan norma tentang kebebasan hakim tersebut. Secara hierarki berdasarkan pengaturan perundang-undangan terkait dengan norma kebebasan Hakim telah diatur dengan tegas dan jelas, serta tidak ada keraguan di dalamnya terkait dengan sinkronisasi maupun harmonisasi diantara aturan-aturannya, sehingga dalam penjabaran norma tersebut dalam setiap putusan pengadilan harus juga dapat memenuhi dan menyeimbangkan dengan tujuan hukum.