Perlindungan Hukum bagi Kreditor Pemegang Hak Tangungan atas Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Guna Bangunan terhadap Debitor yang Wanprestasi

Main Author: Rahayu, Evani
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2014
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/156611/
Daftar Isi:
  • Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Maka keberadaan bank atau yang disebut sebagai Kreditor dalam hubungan dengan nasabah atau Debitor tentunya harus mendapatkan perlindungan hukum, khususnya jika menyangkut hak dan kewajiban masing-masing. Pelaksanaan eksekusi lelang Hak Tangungan adalah merupakan konsekuensi logis dari penandatanganan atas perjanjian kredit oleh Kreditor dengan Debitor, ketika Debitor wanprestasi. Eksekusi lelang Hak Tangungan adalah merupakan suatu sarana untuk melakukan penjualan obyek jaminan obyek jaminan hutang milik Debitor oleh Pejabat Kantor Pelayanan Kekayaan Milik Negara dan Lelang (KPKNL). Pada saat dilakukan eksekusi lelang terhadap Hak Tangungan sering terjadi masalah yang mengakibatkan eksekusi lelang menjadi batal, salah satunya karena sertifikat Hak Guna Bangunan yang dibebani Hak Tangungan telah berakhir jangka waktunya sehingga tidak dapat dilakukan lelang oleh Kreditor, hal itu sebabkan karena Hak Tangungan hapus jika hak atas tanah yang berada diatasnya berakhir. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Selanjutnya bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh Penulis akan dianalisis dengan menggunakan tehnik analisis interpretasi dan analisis deskriptif analitis. Dalam pasal 8 Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan bahwa bank dalam melaksanakan kegiatan pemberian kredit senantiasa mendasarkan pada adanya suatu keyakinan bahwa Debitor dapat mengembalikan kredit yang diperolehnya pada waktu yang telah diperjanjikan. Dalam memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan persetujuan kredit yang diajukan maka perlu dilaksanakan dengan pemenuhan prinsip kehati-hatian ( prudential Banking Principle ) melalui analisa yang mendalam terhadap watak ( character ), kemampuan ( capacity ), modal ( capital ) , agunan ( collateral ) dan prospek usaha dari calon Debitor ( condition of economy ) utamanya yang menyangkut jaminan Hak Guna Bangunan agar pengikatan kredit tetap tercover dengan jaminan yang diberikan oleh Debitor. Terkait dengan berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan yang dibebani dengan Hak Tangungan maka Hak Tangungan menjadi hapus akan mempunyai akibat hukum terhadap Kreditor pemegang Hak Tangungan, yaitu yang awalnya berposisi sebagai Kreditor preferent berubah menjadi Kreditor konkurent yang mempunyai hak perseorangan. Hak perseorangan merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang lahir dari undang-undang, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Dengan begitu maka untuk menjamin adanya perlindungan hukum bagi Kreditor pemegang Hak Tangungan yang dibebankan pada Hak Guna Bangunan perlu melakukan upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingannya agar tetap memiliki kedudukan preferent terhadap jaminan tersebut sehingga dapat mengeksekusi obyek jaminan dan memiliki kedudukan yang diutamakan dari Kreditor lain, maka pada saat penandatanganan APHT haruslah dicantumkan klausula kuasa agar Kreditor dapat mengurus perpanjangan haknya jika nantinya jangka waktu Hak Guna Bangunannya akan berakhir.