Implikasi Yuridis bagi Ahli Waris yang Berpindah Agama (Kajian Normatif Menurut Sistem Hukum Waris Adat di Bali)

Main Author: Lyanthi, MerlineEva
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2011
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/156516/
Daftar Isi:
  • Dalam penulisan tesis dilatarbelakangi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, di Bali dikenal adanya dua desa yaitu desa dinas (desa administratif) dan desa adat (desa pakraman). Dipandang dari sudut sosiologi perlu dilihat dari kenyataan hidup pada setiap Desa Adat dijiwai agama Hindu di Bali yang eksistensi Desa adat di Bali diakui oleh pasal 18 UUD 1945 dan dikukuhkan oleh Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa adat sebagai kesatuan masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali. Pada dasarnya yang menjadi ahli waris menurut hukum adat Bali adalah anak laki-laki melihat dari garis kekerabatan patrilinial. Dalam kehidupan masyarakat bahwa seorang laki-laki tidak dapat menjadi ahli waris dari orang tua disebabkan karena berpindah dari Agama Hindu ke agama lainnya. Dalam upaya mengetahui Kewajiban Serta Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Harta Warisan Menurut Sistem Hukum Adat Di Bali Yang Dijiwai Oleh Agama Hindu dan Akibat Hukum Bagi Ahli Waris Yang Berpindah Dari Agama Hindu Menurut Sistem Hukum Adat Di Bali, maka metode pendekatan yang dipakai adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa Kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap harta warisan menurut sistem hukum adat Di Bali Yang Dijiwai Oleh Agama Hindu terhadap harta warisan materiil dan immateriil adalah patrilinial atau dikenal dengan laki-laki (purusa). Anak laki-laki dan anak perempuan yang diangkat statusnya sebagai anak laki-laki yang disebut sentana rajeg sebagai ahli waris merupakan penerus keturunan yang mempunyai tanggung jawab besar untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diberikan pewaris kepada ahli warisnya dengan membayar hutang-hutang yang ditinggalkan pewaris, melaksanakan upacara kematian atau pengabenan bagi pewaris, melaksanakan upacara keagamaan yang dilakukan dirumah maupun ditempat persembahyangan, melakukan kewajiban yang berlaku di masyarakat seperti gotong royong dengan masyarakat desa yang sebelumnya dilaksanakan juga oleh pewaris sebelum meninggal dunia. Sehingga kewajiban-kewajiban ini oleh ahli waris dalam kehidupannya harus dilaksanakan sebagai kewajiban yang mulia terhadap keluarga dan masyarakat adatnya. Sedangkan, akibat hukum bagi ahli waris yang berpindah dari agama hindu menurut sistem hukum adat di bali adalah ahli waris beralih agama di Desa Adat atau Pekraman Panjer tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana kewajiban ahli waris yang tetap beragama Hindu dan mereka sudah tidak ada lagi mempunyai hubungan dengan Desa Adatnya yang berkaitan erat dengan masyarakat sosialnya dan seluruh hak di keluarganya terutama yang berkaitan dengan waris berupa harta warisan materiil dan immateriil secara otomatis hilang karena yang bersangkutan sudah tidak lagi berstatus Purusa dan yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan kewajiban sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib) dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan di keluarga, maupun masyarakat. Menyikapi fakta-fakta tersebut diatas maka anak perempuan pada masyarakat desa Adat tidak disebut sebagai ahli waris, yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki. Anak perempuan hanya berhak menikmati harta warisan orang tuanya bukan untuk memilikinya selama anak perempuan itu tinggal dirumah orang tuanya dan belum kawin keluar. Jika terjadi sengketa diantara warga desa bersama-sama dengan kepala adat (klian adat) membuat suatu peraturan yang berbentuk tertulis dan sah berdasarkan musyawarah, peraturan itu bernama “Awig- Awig” yang lazim dimiliki di setiap desa adat di Bali yang mana aturan ini ditaati dan diakui karena mereka harus menerimanya agar tercapai ketentuan dalam masyarakat sehingga mereka selaku warga Desa Adat atau Pekraman Panjer menganggap aturan itu sebagai peraturan hukum dan bagi yang melanggarnya dapat dikenai sanksi. Sedangkan sebaliknya ahli waris yang tidak lagi memeluk agama Hindu, maka bisa mendapatkan harta warisan sesuai dengan dengan kesepakatan keluarga dan dapat pula ahli waris memberikan bantuan dana dalam pelaksanaan pengabenan pewaris.