Analisis Pembuatan Surat Keterangan Waris Yang Didasarkan Pada Penggolongan Penduduk (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis)
Main Author: | Laila, Fardatul |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2015
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/156514/ |
Daftar Isi:
- Penggologan penduduk di Indonesia telah dikenal sejak masa penjajahan yakni sejak diberlakukannya berbagai peraturan Nederland yang juga diberlakukan di Hindia Belanda atau negara jajahan Belanda, hingga saat ini penggolongan penduduk tersebut tetap ada dan diberlakukan dengan asas konkordansi, sungguh dapat dipahami penggolongan penduduk tersebut telah tidak sesuai dengan dasar filosofis yang tertuang dalam Sila Ketiga Pancasila dan bertentangan pula dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Dalam perkembangannya Pemerintah Indonesia, mengesahkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, sepintas lalu terdapat istilah yang tepat untuk penggolongan penduduk sebagai bentuk diskriminasi Ras dan Etnis, sehingga atas undang-undang tersebut perlu diketahui: mengapa pembuatan surat keterangan waris dapat dilakukan oleh beberapa pejabat?; apakah pembuatan surat keterangan waris berdasarkan golongan tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis?; siapakah pejabat yang paling berwenang untuk membuat surat keterangan waris bagi seluruh warga negara Indonesia?. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif (Legal Normatif Research), dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approarch) dan pendekatan sejarah (historical approarch), dan pendekatan kasus (Case Approach) atas bahan hukum dikaji dan dianalisis berdasarkan teknik silogisme. Berdasarkan hasil penelitian, atas permasalahan yang pertama dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh politik hukum dalam pembuatan surat keterangan waris yang diberlakukan sebagai politik devide et impera/becah belah oleh penjajah yang berlaku sejak jauh sebelum negara Republik Indonesia merdeka, yakni didasarkan pada pemberlakuan Pasal 163 IS jo. 131 IS yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan yakni, Golongan penduduk Eropa, Golongan Penduduk Timur Asing dan Golongan Penduduk Bumiputra/pribumi, sedangkan mengenai pembuatan Surat keterangan waris yang didasarkan pada penggolongan penduduk tersebut merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, bertentangan pula dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law), Perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip Negara vi yang didasarkan pada sistem pemerintahan yang demokratis (Democratische Rechstaat), sehingga karenanya tidak mencerminkan hukum yang berkeadilan, bermanfaat dan berkepastian hukum. Sedangkan Pejabat yang paling berwenang untuk membuat Surat keterangan waris adalah Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang- undang lainnya, yang diakui sebagai pejabat satu-satunya yang diberikan tugas dan wewenang dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang hukum perdata, khususnya jika didasarkan pada ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan tidak tepat jika Surat keterangan waris sebagai alat bukti dalam hukum perdata disaksikan/diketahui, dibenarkan dan ditandatangani oleh badan atau pejabat tata usaha negara (BHP/Lurah/Kepala Desa/Camat) yang tunduk pada hukum administrasi.