Kriminalisasi Kumpul Kebo (Samen Leven) dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Main Author: Kumara, Shakty
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2011
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/156358/
Daftar Isi:
  • Manusia ditakdirkan untuk membentuk keluarga, minimal dua orang yaitu laki-laki dan perempuan. Pembentukan keluarga tersebut haruslah melalui perkawinan yang sah. Kumpul kebo ( Samen Leven ) adalah pembentukan keluarga yang dilakukan tanpa adanya ikatan perkawinan yang tidak sah. Namun di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Dasar-dasar pertimbangan perlunya dikriminalisasikan kumpul kebo yaitu; Pertama , dilihat dari pentingnya suatu ikatan perkawinan yang sah, yang dapat menjamin hak dan kewajiban dari suami dan isteri, dapat menentukan status kedudukan anak, dan harta waris. Kedua , dilihat dari yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila sila kesatu sampai kelima. Ketiga , karena dianggap masalah sosial yang perlu ditanggulangi dan perbuatan Kumpul Kebo ( Samen Leven ) tidak dapat dikatakan sebagai hak asasi manusia karena tidak diatur dalam deklarasi hak asasi manusia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Keempat , dilihat dari perbandingan KUHP Negara-negara lain yang telah mengaturnya. Penulis sependapat dengan pengaturan Kumpul Kebo ( Samen Leven ) yang dirancang dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana pada konsep tahun 1999/2000, yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang membentuk sebuah keluarga tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku akan dapat dikenakan sanksi pidana. Namun perbuatan kumpul kebo ini harus ada sebuah laporan dari pihak ketiga, seperti; keluarga yang bersangkutan, lurah atau kepala desa, yang diketahui berdasarkan keterangan dari warga setempat. Penulis memberikan saran, karena banyaknya perbuatan Kumpul Kebo ( Samen Leven ) di kota-kota atau daerah-daerah tertentu, namun belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, alangkah baiknya apabila dibentuknya suatu perda (peraturan daerah), seperti yang telah dilakukan di kota Batam dalam Perda Nomor 6 Tahun 2002 tentang ketertiban sosial pasal 7 ayat (3) dan (4).