Pertimbangan Hukum Hakim dalam Memutus Perkara Pembunuhan Berencana dengan Motif Persembahan Upacara Adat oleh Suku Noaulu Maluku Tengah (Studi terhadap Putusan Nomor 87/Pid.B/2005/Pn.Msh dan Putusan
Main Author: | Amirullah, Thaufik |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2014
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/156324/ |
Daftar Isi:
- Kedudukan hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Namun apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan hukum nasional maka dianggap tetap berlaku, namun demikian sebaliknya jika hukum adat itu dianggap bertentangan dengan hukum positif atau hukum nasional, maka ketentuan hukum tertulislah yang berlaku. Persintuhan antara hukum adat dan hukum nasional dalam konteks penegakan hukum (law enforcement) tentulah menjadi bagian dari diskursus akademik kajian dalam bidang ilmu hukum pidana Indonesia. Konflik hukum diantara keduanya dalam ranah tindakan hukum formil tentulah memicu terjadinya mekanisme penyelesaian hukum yang cenderung menggunakan aspek litigasi yang memiliki karakteristik formal. Perihal tersebut dipandang rasional mengingat bahwa hukum pidana menganut azas, “lex scripta” dan “lex certa” dimana asas, “ nullum delictum nulla poena sine previa lege poenali ” melarang keberlakuan hukum yang tidak tertulis karena dianggap akan mengancam kepastian hukum yang diusung sebagai landasan utama keberlakuan hukum pidana. Sebagaimana kasus pidana yang dikaji oleh peneliti terkait dengan praktek pembunuhan berencana yang dilakukan oleh warga suku Noaulu dengan motif tindakan tersebut didasarkan atas tindakan untuk kepentingan upacara persembahan adat. Upacara persembahan adat dimaksud oleh masyarakat Noaulu dikenal sebagai tradisi “ Potong Kapala ” (memenggal) kepala manusia untuk ritual adat. Pada akhirnya jalur litigasi ditempuh yang berujung pada dikeluarkannya Putusan Nomor 87/Pid.B/2005/PN.Msh dan Putusan Banding yang dituangkan dalam Perkara Pidana Banding Nomor 25/PID/2006/PT. MAL merubah status hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Beranjak dari permasalah tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagi berikut: (1) Mengapa hakim menjatuhkan sanksi pidana mati sesuai Putusan Nomor 87/Pid.B/2005/PN.Msh dalam perkara pembunuhan berencana dengan motif persembahan upacara adat (Potong Kapala) oleh Suku Noaulu Maluku Tengah?. (2) Mengapa hakim tidak mempertimbangkan nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kerangka teori yang digunakan antara lain, (1) teori pemidanaan dan pertanggung jawaban pidana, dan (2) teori penegakan hukum (3) teori pertanggung jawaban pidana. Penelitian ini dikalsifikasi sebagai penelitian hukum normatif ( normative legal research ) dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mendiskripsikan, mengkaji dan menganalisis dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana mati dalam perkara pembunuhan berencana dengan motif persembahan upacara adat (Mengayau) oleh Suku Noaulu Maluku Tengah, serta untuk mengkaji dan menganalisis pertimbangan hukum hakim sebagaimana termaktub di dalam Putusan Nomor 87/Pid.B/2005/PN.Msh dan Putusan Nomor 25/PID/2006/PT. MAL dengan nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun hasil dari penelitian ini antara lainPertimbangan hukum hakim menjatuhkan sanksi pidana mati dan seumur hidup sesuai Putusan Nomor 87/Pid.B/2005/PN.Msh dan Putusan Nomor 25/PID/2006/PT. MAL di dasarkan pada aspek pemenuhan kualifikasi delik pembunuhan berencana sebagaimana dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 340 KUHP serta penekanan pada asas fiksi hukum yang memandang bahwa setiap orang dianggap tahu hukum ( presumptio iures de iure ). Ketidak tahuan pelaku pembunuhan (warga suku Noaulu) atas undang-undang dengan demikian tidak dapat menjadikannya seagai alasan pemaaf ( ignorantia jurist non excusat ) sehingga pelaku tetap dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana. Namun demikian penggunaan penafsiran sebagai pengaruh perkembangan masyarakat pada dasarnya membuka peluang bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum secara progresif. Penemuan hukum secara progresif tidak terlepas dari keinginan hati nurani untuk menegakkan keadilan dengan berpijak pada nilai-nilai hukum di masyarakat. Praktik pengadilan di Indonesia, menunjukkan mulai berkembangnya cara-cara penerapan hukum yang progresif, namun tradisi legal-positivism masih menjadi mainstream para hakim. Konsistensi pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor 87/Pid.B/2005/PN.MSH dan Putusan Nomor 25/PID/2006/PT. MAL selaras dengan apsek legal positivism rumusan delik pembunuhan berencana namun demikian keberlukan asas fiksi hukum yang digunakan oleh hakim dipandang tidak proporsional mengingat bahwa dalam konteks tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak atas keadilan (acces to justice) karena tidak menjadikan keberlakukan asas publisitas hukum sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Dalam rangka membangun pembinaan hukum yang mencerdaskan pengetahuan masyarakat kedepan arah penyelesaian tindak pidana dipandang penting untuk menerapkan penuyuluhan hukum secara menyeluruh oleh pihak pemerintah, serta untuk menjamin kesepakatan penggantian sarana persembahan dalam tradisi memenggal kepala manusia (Potong Kapala) menjadi persembahan binatang dan/atau bahan pangan. Strategi ini dijalankan guna menjamin prinsip restorative justice dalam penegakan hukum di Indonesia.