Kajian Kritis terhadap Putusan Hakim yang Menjatuhkan Pidana Lebih Ringan dari Ancaman Pidana Minimum Khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Main Author: | Gunaryanto, Nanang |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2014
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/156280/ |
Daftar Isi:
- Pada kenyataan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi lebih banyak menekankan pada keyakinannya, daripada berdasarkan kepastian hukum mengenai adanya pidana minimum khusus dan pidana maksimum khusus. Masih banyak dijumpai hakim memutuskan perkara pidana korupsi dengan pidana penjara dibawah minimum khusus. Ini merupakan fakta yang terjadi dari beberapa perkara tindak pidana korupsi yang ada. Sehingga permasalahan yaitu putusan hakim dalam memutuskan perkara tipikor lebih ringan dari sanksi ancaman pidana minimum bertentangan dengan kaidah hukum Cq. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dan kebebasan hakim tidak dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara tipikor bertentangan dengan ketentuan Undang-undang. Karena tujuan yang akan dicapai adalah ilmu hukum secara mendalam mengenai sumber hukum antara pemidanaan dengan kewenangan hakim dalam memutus perkara bertentangan dengan batasan yang ditetapkan oleh undang-undang secara normatif dan batasan hakim dalam memutuskan perkara tidak semata-mata pada pertimbangan dalam kebebasan berdasarkan keyakinannya saja sehingga bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Metode yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang tersebut menjadi dasar berpijak hakim dalam menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sehingga cenderung untuk mengunakan keyakinannya dalam memutus perkara tindak pidana korupsi yang secara pasti telah diatur pembatasan sanksi penjara dengan menetapkan pidana minimum khusus dan pidana maksimum khusus. Permasalahan tersebut diuji dengan menggunakan teori kritis dan teori progresif. Karena dari putusan hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi terjadi putusannya dibawah pidana minimum khusus. Oleh karena itu perlu dikaji secara kritis, dan yang perlu dikaji lebih mendalam adalah hakim melakukan progresif hukum dengan menggunakan rumusan pasal 5 ayat (1) undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sementara progresif yang dimaksud adalah menerobos positivisme hukum dalam undang-undang dengan alasan keadilan masyarakat. Keadilan masyarakat tersebut ditafsirkan hakim adalah termasuk terdakwa atau terpidana. Muncul pertanyaan, apakah ini yang dimaksud progresif hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi. Terjadi pertentangan dalam penafsiran mengenai rasa keadilan masyarakat. Dalam melakukan penafsiran hakim telah melakukan generalisasi keadilan masyarakat tersebut juga termasuk bagi terdakwa atau terpidana. Pertentangan itu antara positivisme hukum pidana korupsi yang secara pasti telah disebutkan adanya pidana minimum khusus dan pidana maksimum khusus dengan hakim dengan menggunakan kekuasaannya untuk mencari rasa keadilan masyarakat. Upaya hakim dalam menerobos kekakuan hukum, khususnya pidana korupsi perlu dilihat, apakah benar hakim memiliki pandangan berdasarkan pada rasa keadilan. Lalu keadilan yang dimaksud itu rasa keadilan untuk siapa. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 itu jelas menyebutkan “rasa keadilan masyarakat”. Subyek yang disebutkan adalah “masyarakat”. Masyarakat tentunya adalah majemuk pada semua orang yang bersifat umum. Karena di dalamnya terkandung kepentingan umum yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum. Berupa fasilitas umum yang dibangun berasal dari uang negara. Sementara negara salah satu unsurnya adalah rakyat atau masyarakat. Tingkat kerugiaanya sangat berdampak luas bagi kehidupan dan bisa menimbulkan kesulitan dalam hidup, bahkan tidak bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bila kembali pada tujuan negara pada hakekatnya adalah pencapaian kesejahteraan. Sesuai pembahasan itu, maka disimpulkan bahwa putusan hakim dalam memutuskan perkara tipikor lebih ringan dari sanksi ancaman pidana minimumsebagaimana perbuatan yang melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, melanggar kaidah hukum cq. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan dapat melunturkan jaminan kepastian hukum. Meskipun hakim termasuk sebagai pihak pembuat hukum (judge make law). Putusan Hakim yang dalam pertimbangannya menyatakan lebih mengutamakan aspek keadilan dan kemanfaatan, dengan mengesampingkan aspek kepastian akan menemui kesulitan dalam menetukan parameter atau mengukur rasa “adil” Karena bilamana hakim mengesampingkan kepastian hukum dalam hal menyangkut sanksi hukuman minimum khusus, maka akan cenderung dalam pertimbangannya lebih mengutamakan pertimbangan yang bersifat non yuridis dan akan lebih bersifat subyektif bagi kepentingan terdakwa. Dengan demikian adanya penyimpangan dalam menjatuhkan putusan tersebut terhadap norma-norma hukum yang dilanggar. Positivisme sangat penting dipergunakan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, khususnya bagi terdakwa atau terpidana dengan pertimbangan rasa keadilan masyarakat, tapi disini masyarakat bukan pelaku yang dimaksud. Bahwa hakim memiliki kebebasan dalam memutuskan perkara, tetapi terikat dengan sistem hukum yang dianut. Keterikatan tersebut secara pasti telah ditentukan mengenai batasan minimum khusus terhadap sanksi hukuman. Contoh sebagaimana dalam ketentuan pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai ancaman pidana penjara minimum khusus dengan pembatasan paling rendah selama 4 (empat) tahun.