Positive Legislature Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Main Author: | Esfandiari, Fitria |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2014
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/156171/ |
Daftar Isi:
- Mahkamah Konstitusi, yang keberadaannya merupakan amanat reformasi menjadi bagian dari konsep checks and balances . Terkait kewenangannya ini, Mahkamah Konstitusi secara teks hanya diperkenankan membuat Putusan yang bersifat negative legislature atau sebatas membatalkan norma/membiarkan norma dalam undang-undang tetap berlaku. Konteks yang berkembang dewasa ini bergeser, Putusan Mahkamah Konstitusi masuk dalam ranah positive legislature atau merumuskan norma baru. Hal ini membawa implikasi hukum yang luas terutama dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Fenomena itu menimbulkan beberapa masalah diantaranya apakah Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi membuat positive legislature melalui putusanputusannya serta apa implikasi hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang membuat norma baru dan bagaimana mewujudkan positive legislature tersebut. Terdapat tiga putusan yang mencerminkan sifat positive legislature tersebut, yakni Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Putusan MK Nomor 102/PUUVII/2009 tentang Pengujian Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, Putusan MK Nomor : 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tentang Penghitungan Suara Pada Pemilu Legislatif 2009. Masalah-masalah tersebut selanjutnya dianalisis dalam perspektif teoritis yaitu, ajaran pemisahan/pembagian kekuasaan, teori kewenangan, teori penemuan hukum dan teori hukum dan masyarakat. Hasil uji analisis dalam penelitian ini menyimpulkan, Pertama , Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi positive legislature dalam putusan-putusannya. Konsep positive legislature ini menurut penulis telah sesuai dan mencerminkan rasa keadilan. Hal ini berdasarkan argumentasi sebagai berikut : 1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengandung positive legislature tersebut sebagai bagian dari penegakan hukum progresif. Dibuatnya putusan yang bersifat mengatur tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum, filosofis dan sosiologis yang tidak terlepas dari penafsiran hukum. 2. Hukum tidak hanya dilihat dari kacamata teks undang-undang belaka melainkan menghidupkan kemaslahatan dalam kontektualitasnya. Menyadari bahwa hukum bukanlah aturan yang berdiri sendiri atau absolut, hukum dilingkupi oleh nilai-nilai masyarakat. Mengacu pada hasil analisis di atas, maka putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positive legislature diperlukan untuk menegakkan keadilan substantif sepanjang terdapat kriteria-kriteria, syarat serta kondisi yang melatarbelakanginya. Kedua , norma baru yang lahir dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positive legislature secara langsung memiliki implikasi hukum bagi masyarakat luas. Derajatnya setara dengan Undang-Undang karena bersifat final dan mengikat. Hal ini di berdasarkan penemuan hukum sebagai berikut : 1. Dalam hal Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang mengatur, dapat diatur dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi atau Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), sehingga keberadaannya tidak dipertanyakan lagi oleh masyarakat. 2. Dirumuskannya kriteria-kriteria yang dapat digunakan sebagai rambu-rambu bagi M