Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Subisidi Input Output terhadap Pengembangan Komoditas Kedelai (Glycine max) di Kabupaten Pasuruan (Studi Kasus di Desa Kalirejo, Kecamatan Sukorejo dan Desa
Main Author: | Mutiara, Farah |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/155973/ |
Daftar Isi:
- Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Hal ini sesuai dengan visi pembangunan pertanian Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera, khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi. Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia karena kandungan gizi kedelai cukup tinggi dan relatif murah dibandingkan dengan protein hewani. Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, yaitu: tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai dan berbagai bentuk makanan ringan. Hal tersebut menjadikan kedelai sebagai salah satu komoditas penting di Indonesia. Meskipun kedelai bukan sebagai bahan pangan utama, tetapi kedelai merupakan komoditas palawija yang dimasukkan ke dalam kebijakan pangan nasional. Akan tetapi, Kementerian Pertanian Indonesia (2012) menilai daya saing kedelai Indonesia mulai melemah. Hal ini ditandai dengan produksi kedelai turun karena melemahnya daya saing kedelai dengan komoditas lain. Selain kalah bersaing di dalam negeri, daya saing internasional kedelai juga rendah. Beberapa kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing adalah dengan penerapan harga benih kedelai seharga Rp 14.000/kg dan kebijakan harga output kedelai kering sebesar Rp 7.000/kg di seluruh Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa masalah yang perlu dianalisis yakni: 1) Apakah usahatani kedelai di Kabupaten Pasuruan memiliki daya saing dari keunggulan komparatif? 2) Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap pengembangan komoditas kedelai? Berdasarkan permasalahan yang ada, diperoleh tujuan penelitian: 1) Mendeskripsikan dan menganalisis daya saing usahatani kedelai secara intensif dan konvensional dari perspektif keunggulan komparatif. 2) Menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap pengembangan komoditas kedelai. Dari rumusan permasalahan dapat dibuat hipotesis yakni: 1) Diduga, usahatani kedelai di Kabupaten Pasuruan memiliki daya saing komparatif. 2) Diduga, dampak kebijakan komoditas kedelai baik harga input maupun harga output akan menjadikan pengembangan kedelai lebih baik. Pemilihan daerah penelitian dilakukan dengan secara purposive di Desa Kalirejo, Kecamatan Sukorejo dan Desa Oro-oro Ombo Kulon,Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukorejo dan Kecamatan Rembang merupakan salah satu daerah sentra produksi kedelai di Kabupaten Pasuruan. Metode pengambilan sampel untuk di Desa Kalirejo dilakukan dengan sensus. Sedangkan metode penelitian yang dilakukan di Desa Oro-oro Ombo Kulon ini secara proportionate stratified random sampling dengan menggunakan teknik Parell. Dari penelitian yang telah dilakukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan keunggulan komparatif, nilai DRCR pada sistem intensif adalah 0,802 dan pada sistem konvensional adalah 0,908. Hal ini berarti bahwa untuk menghemat US$ 1,00 memerlukan US$ 0,802 dan US$ 0,908. Pada analisis kebijakan pemerintah (PAM) menunjukkan nilai NPCO adalah 1,102 dan 1,245 dimana pemerintah melakukan proteksi terhadap output sehingga harga aktualnya lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Sedangkan nilai NPCI pada sistem budidaya intensif adalah 1,034 dan 1,006 pada sistem budidaya konvensional maka pemerintah melakukan proteksi terhadap produksen input tradeable. Nilai PC pada sistem intensif adalah 1,777 dan pada sistem konvensional adalah 6,30. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah membuat petani mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan konsumen. Nilai EPC pada sistem intensif adalah 1,12 dan pada sistem konvensional adalah 1,30. Hal ini berarti bahwa efektivitas kebijakan pemerintha bersfiat protektif dan mendorong produksi kedelai domestik untuk dikembangkan ke arah perdagangan ekspor sehingga produsen domestik diuntungkan dan menyebabkan nilai harga domestik lebih tinggi. Nilai Input Transfer (IT) pada sistem intensif adalah Rp 68.538,30 dan pada sistem konvensional adalah Rp8.645,68 dimana nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah pada input tradeabel dan mengakibatkan harga input tradeable menjadi mahal. Pada nilai output transfer (OT) pada sistem intensif adalah Rp1.271.857,00 sedangkan pada sistem konvensional nilai OT adalah Rp1.815.354,74. OT yang diterima petani dengan sistem intensif lebih besar yang menununjukkan bahwa keuntungan kompetitif yang diperoleh petani dengan sistem intensif lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh konsumen.