Analisis Spasial Untuk Penentuan Klasifikasi Iklim Menurut Schmidt-Ferguson Dan Oldeman Di Kabupaten Ponorogo
Main Author: | Sasminto, RetnoAyu |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/149386/1/Retno_Ayu_Sasminto_%280911023016%29.pdf http://repository.ub.ac.id/149386/ |
Daftar Isi:
- Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia dalam rangka menjalankan kehidupannya sehari-hari. Perubahan iklim dari waktu ke waktu menjadi masalah bagi semua kalangan manusia di bumi ini. Menurut Susandi (2002) perubahan iklim global telah dan akan terus terjadi sejalan dengan peningkatan aktivitas manusia. Dengan begitu bisa dikatakan iklim sangat bepengaruh dengan kegiatan dan pola hidup manusia di bumi ini. Selain itu aktivitas tertentu seperti bertani dan berkebun sangat ditentukan oleh kondisi iklim suatu daerah akan tetapi iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Sistem klasifikasi menurut Schmidt dan Ferguson (1951) sangat cocok digunakan di Indonesia yang beriklim tropis. Dasar pengklasifikasian iklim ini adalah jumlah curah hujan yang jatuh setiap bulan sehingga diketahui rata-ratanya bulan basah, lembab, dan bulan kering. Klasifikasi ini menggunakan nilai perbandingan (Q) antara rata-rata banyaknya bulan kering (Md) dan rata-rata banyaknya bulan basah (Mw) dalam satu tahun. Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe iklimnya berdasarkan jumlah bulan basah yang berlansung secara berturut-turut. Oldeman, et al (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi adalah 150 mm/bulan, sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70 mm/bulan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Schmidt-Ferguson dan Oldeman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson dan klasifikasi iklim Oldeman di Kabupaten Ponorogo serta membuat peta klasifikasi iklim. Dari hasil penelitian dapat diketahui Kabupaten Ponorogo menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson memiliki 4 iklim yaitu iklim basah, iklim agak basah, iklim sedang, dan iklim agak kering. Stasiun hujan yang memiliki iklim basah yaitu Ngebel. Stasiun hujan yang mengalami iklim agak basah antara lain Ponorogo, Kesugihan, Pulung, Pudak, Sooko, dan Talun. Stasiun hujan yang mengalami iklim sedang antara lain Babadan, Slahung, Pohijo, Ngrayun, Badegan, Sumoroto, Ngilo-ilo, Wilangan, Bolu, Purwantoro, dan Sungkur. Stasiun hujan yang memiliki iklim agak kering antara lain Sawoo dan Balong. Kabupaten Ponorogo menurut klasifikasi iklim Oldeman memiliki 4 tipe iklim yaitu iklim C3, D3, D4, dan E3. Stasiun-stasiun hujan yang memiliki iklim C3 antara lain Ponorogo, Kesugihan, Pulung, Pudak, Sooko, Talun, dan Ngebel. Menurut ketentuan Oldeman untuk stasiun hujan yang memiliki iklim C3, maka daerah yang berada di sekitar stasiun tersebut hanya dapat menanam padi sekali dan palawija dua kali dalam setahun akan tetapi penanaman palawija yang kedua harus hati-hati jangan jatuh pada bulan kering. Stasiun-stasiun hujan yang memiliki iklim D3 antara lain Babadan, Slahung, Balong, Pohijo, Badegan, Sumoroto, Ngilo-ilo, Wilangan, Bolu, Purwantoro, dan Sungkur. Untuk stasiun hujan yang memiliki iklim D4 yaitu stasiun hujan Sawoo. Menurut ketentuan Oldeman untuk stasiun hujan yang memiliki iklim D3 dan D4, maka daerah yang berada di sekitar stasiun hujan tersebut hanya memiliki kemungkinan satu kali menanam padi atau satu kali menanam palawija dalam setahun tergantung pada adanya persediaan air irigasi. Stasiun hujan yang memiliki iklim E3 yaitu stasiun hujan Ngrayun. Menurut ketentuan Oldeman untuk stasiun hujan yang memiliki iklim E3, maka daerah yang berada di sekitar stasiun hujan Ngrayun umumnya terlalu kering, kemungkinan hanya dapat ditanami satu kali palawija itupun tergantung dengan adanya hujan.