Rekonstruksi Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Dalam Tata Kelola Hutan Desa

Main Author: Rif'an, Mohamad
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2017
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/1477/1/Rif%27an%2C%20Mohamad.pdf
http://repository.ub.ac.id/1477/
Daftar Isi:
  • kajian sejarah yang mengarahkan terhadap pemenuhan kebutuhan mayarakat desa baik sekitar maupun dalam hutan melalui pemindahan konsep pengelolaan hutan berbasis negara (State Base Developement) menjadi pengelolaan hutan berbasis Desa (Community Base Developement) melahirkan bentuk Perhutanan Sosial (Social Foresty) yang mencoba mengambil peran untuk mengekomodir keingianan, hasrat dan harapan masyaakat dalam pengelolaan hutan. Bentuk dari perhutanan sosial ini salah satunya adalah Hutan Desa, namun sayangnya walau mengalami kekosongan hukum selama 9 tahun yang dihitung sejak dilegalkan konsep hutan desa melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan secara teknis mulai diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, Kondisi Hutan Desa dianggap tidak sempurna karena disharmonisasi dengan Peraturan Perundang-Undangan diatasnya yang mengakibatkan kondisi dari Hutan Desa sendiri tidak optimal. Salah satunya terdapat pada Lembaga Pengelola Hutan Desa sebagai subyek pengelola hutan desa yang cenderung tidak melakukan pembagian keuntungan hasil hutan terhadap masyarakat desa karena kekaburan distribusi keuntungan dalam LPHD, dilain sisi LPHD atau Lembaga Desa yang dalam pengaturannya Ketentuan pemilihan pengurus diatur dalam Peraturan Direktur Jendral Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor : P.11/PSKI/SET/PSI.0/11/2016 tentang pedoman verifikasi Permohonan Hak Pengelolaan Hutan. Sifat dari pengaturan ini adalah anfulentrecht. Sehingga pemilihan anggota LPHD cenderung dimonopoli oleh masyarakat dengan kondisi ekonomi sosial tertentu, dilain sisi Pemilihan Pengurus LPHD yang difrasakan dengan musyawarah mufakat, sedangkan musyawarah mufakat tersebut tidaka ada ketentuan wajib maupun tidak. Maka penulis dalam penelitian ini mengangkat rumusan masalah bagaimana bentuk rekonstruksi pemilihan Anggota Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) dan bentuk rekonstruksi kedudukan LPHD. dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), dan pendeketan konsep (Conseptual Approach). Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis dianalisis dengan menggunakan teknik analisis yuridis kualitatif dengan metode interpretasi gramatikal, sistematis dan historis. Dalam pembahasannya, Baik LMDH maupun BUMDes diatur dalam peraturan yang berbeda dimana LMDH diatur dalam Peraturan Menteri dan secara khusus diatur melalui Ketentuan pemilihan pengurus diatur dalam Peraturan Direktur Jendral Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor : P.11/PSKI/SET/PSI.0/11/2016 tentang pedoman verifikasi Permohonan Hak Pengelolaan Hutan. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa sifat dari pengaturan ini adalah anfulentrecht. Pemilihan tersebut disebutkan dalam lampiran Peraturan tersebut. Mengacu Lampiran UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, Peraturan diatas juga memuat lampiran yang yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut. Pemilihan pengurus LPHD dengan musyawarah mufakat, sedangkan musyawarah mufakat tersebut tidaka ada ketentuan wajib maupun tidak. Sehingga dengan adanaya kekaburan ini dapat memberikan peluang kepada pejabat desa terkait untuk melakukan pemilihan secara tertutup yang dapat merugikan warga desa, maupun pemilihan dengan interfensi pihak luar. Sehingga perlu adanaya kejelasan konsep musyawarah mufakat tersebut. Dalam pembahasan pertama, penulis memberikan 3 gagasan secara opsional sebagai bentuk rekonstruksi pemilihan HPHD. Pertama melalui penambahan Frasa “Wajib” dan perubahan “musyawarah mufakat” menjadi “musyawarah desa”, hal demikian karena prinsip musyawarah desa memiliki kejelasan konsep serta tujuan dalam UU Desa maupun PP pelaksana UU Desa. Kedua, penghapusan Frasa “oleh prakarsa masyarakat desa” opsi demikian diperuntukan untuk desa binaan atau desa yang ditargetkan untuk dibina oleh pemerintah, sehingga interfensi pemerintah merupakan hal yang diharuskan. Ketiga, memposisikan bahwa hutan merupkan masalah sistematis maka penyelesaian dilakukan tidak dengan Ilmu Hukum melainkan berbagai keilmuan. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa BUMDes diatur secara tegas. Bahwa kemafaatan keuntungan usaha dalam BUMDes adalah salah satunya untuk pengembangan usaha desa, dan memiliki dampak sosial. Sedangkan dalam Peraturan Direktorat jendral diatas, bahwa LPHD secara mandiri dapat mengatur keuntungannya secara mandiri. Hal dapat menimbulkan pembagian hasil yang bersifat tertutup dan pihak-pihak yang berkepentingan saja yang dapat mengakses keuntungan tersebut kondisi demikian terbentuk dalam Hutan Desa yang dikelola di kawasan di Labbo melalui penelitian yang dilakukan oleh Moeliono M, dkk pada tahun 2015 karena tidak ada kejelasan pembagian keuntungan LPHD. Sehingga terkait pengelolaan keuntungan LPHD harus memiliki tanggungjawab moral dan sosial kepada masayarakat, maka gagasan dalam pembahasan kedua ini, penulis memberikan kritik rekonstruksi kedudukan LPHD berbeda dengan BUMDes selain karena peraturan yang mendasarkan pembetunkan LPHD berbeda dengan BUMDes, tujuan pembentukan dalam LPHD maupun BUMDes berbeda namun dalam disetujui melalui peraturan desa, maka ketika memposisikan gagasan pada pembahasan pertama terimplementasi, gagasan kedua penulis terhadap LPHD yang dibentuk melalui musyawarah Desa dalam pembahasan kedua ini adalah perlu adanya konsep pembagian keuntungan karena konsep musyawarah desa salah satunya adalah membahas penataan desayang bentuknya adalah mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa.