Daftar Isi:
  • Ruang arsitektur nusantara dimengerti sebagai ruang berkehidupan bersama, yang menunjukkan bahwa ruang berkembangnya adalah arsitektur bagi fitrah manusia. Kolektif; yang merupakan hakikat fitrah sangat berbeda dengan eksklusifitas, sehingga muncul persoalan krisis ruang publik, karena nyatanya hegemoni kota secara spasio-visual didominasi individu terkuat saja secara privat. Terlebih di era open society kini, tekanan simplifikasi paham global dan ciri-ciri individualisme generasi millenial yang jumlahnya dominan di Kota Malang kurang memberi ruang bagi keragaman dalam kebersamaan masyarakat. Potensi komunitas kesenian kolektif spesifik malah tidak sebanding dengan tidak tersedianya ruang berkesenian. Tercatat kurang lebih 660 pelaku kesenian pada tahun 2009, tidak sebanding pula dengan jumlah pengunjung hadir yang rata-rata hanya 30 orang saja. Penyebabnya antara lain karena faktor eksternal: ruang berkesenian kurang representatif bagi pelakunya. Menghadirkan kembali ruang kolektif dapat menjadi pembaharuan perancangan arsitektur yang mampu menjadi representasi karakter pelakunya. Dengan menggunakan metode penelusuran buku garing dan buku teles penelitian difokuskan pada Galeri Malang Bernyanyi yang memiliki potensi kolektif namun tidak ditunjang dengan ruang berkegiatan representatif sesuai karakternya. Hasil integrasi pemetaan lapangan dan penelusuran kajian teoritik paradigma kontekstual Weak Architecture sebagai solusi krisis arsitektur di ruang publik, kemudian menjadi landasan metode perancangan yang digunakan pada proses desain. Hasil perancangan GMB menitik-beratkan pada pendekatan perilaku untuk mendapat parameter dasar karakter penggunaan ruang yang diamati berdasarkan setting, atribut dan teritorialitas ruang. Dan variabel penerapan ruang kolektif untuk mendorong interaksi, fleksibilitas, dan konektivitas. Yang ketiganya dibagi menjadi 3 tahap sesuai konsep Weak Architecture dalam pustaka Primitive Future.