Implementasi Biaya Kualitas Dengan Metode Activity Based Costing Untuk Mengetahui Peluang Perbaikan Kualitas Gula (Studi Kasus: Pg Tjoekir Jombang)
Main Author: | Kusumawardhani, HalidaDwi |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2015
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/143809/ |
Daftar Isi:
- PG Tjoekir merupakan anak perusahaan dari PT Perkebunan Nusantara X yang memproduksi produk utama berupa gula Superieure Hoofd Suiker(SHS). Di tahun 2014 lalu, jumlah produksi gula yang dihasilkan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Salah satu faktor penyebab penurunan produksi adalah dari kualitas yang dihasilkan. Selain itu, perusahaan juga perlu mengetahui apakah kegiatan peningkatan kualitas yang dilakukan sudah berjalan baik atau belum. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian kualitas salah satunya dari segi biaya kualitas. Perhitungan biaya kualitas berfungsi untuk mengetahui berapa besar biaya yang dikeluarkan terkait dengan kegiatan peningkatan kualitas. Sedangkan, perhitungan biaya yang digunakan oleh perusahaan masih belum mempertimbangkan biaya kualitas danhanya menggunakan perhitungan tradisional, dimana alokasi overhead pada perhitungan ini didasarkan pada volume produk sehingga biaya yang dihasilkan kurang akurat dan informatif.Padahal, penyajian biaya yang akurat dan informatif penting dilakukan agardapat melakukan pengambilan keputusan secara tepat. Untuk mengetahui seberapa besar biaya kualitas yang dihasilkan, dapat digunakan metode Activity Based Costing (ABC), dimana perhitungan metode ini didasarkan pada penelusuran aktivitas-aktivitas produksi yang dilakukan berdasarkan elemen-elemen biaya kualitas yang terdiri dari biaya pencegahan, biaya penilaian, dan biaya kegagalan internal. Dengan mengidentifikasi aktivitas-aktivitas produksi, kemudian membebankan biaya-biaya pada aktivitas tersebut, maka akan diperoleh biaya kualitas tertinggi dari keseluruhan total biaya kualitas. Untuk mengetahui perlu tidaknya program peningkatan kualitas, dapat dibandingkan dengan segmen optimum biaya kualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya kualitas tertinggi terdapat pada aktivitas kegagalan internal yang mencapai 81% pada tahun 2013 dan 52% di tahun 2014. Pada segmen optimum biaya kualitas, perusahaan berada pada daerah pengabaian dengan ketentuan biaya kegagalan mendekati 50% sedangkan biaya pencegahan mendekati 10%. Hal ini terlihat dari prosentase biaya kegagalan tahun 2013 sebesar 81% dan biaya pencegahan sebesar 18%. Dan pada tahun 2014, biaya kegagalan memiliki proporsi sebesar 52% dan biaya pencegahan sebesar 47%. Hal ini berarti, jika perusahaan mengabaikan kegiatan peningkatan kualitas, maka hal ini tidak akan menjadi masalah yang cukup serius mengingat upaya peningkatan kualitas yang telah diterapkan oleh perusahaan sudah cukup baik. Tetapi jika perusahaan memilih untuk melakukan upaya peningkatan kualitas ke tahap yang lebih tinggi, maka hasil kualitas yang dicapai akan semakin baik.