Daftar Isi:
  • Kawasan Pabrik Gula Watoe Toelis Sidoarjo merupakan warisan pabrik gula era kolonial. Pabrik gula Watoetoelis didirikan pad a tahun 1835 oleh perusahaan milik Belanda yang bernama NV Cooy & Coster Van Voor Hout yang berkantor di Surabaya. Menurut RTRW Sidoarjo 2009-2029 pada lokasi kawasan cagar budaya terdapat permasalahan bahwa tidak dicantumkan Pabrik Gula Watoe Toelis sebagai kawasan cagar budaya maka perlu adanya sebuah studi mengenai pelestarian kawasan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi kesejarahan kawasan, menganalisis evaluasi kerusakan /perubahan objek dan makna kultural kawasan, serta menganalisis dan menentukan arahan pelestarian dalam mempertahankan kawasan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi potensi kesejarahan kawasan meliputi tinjauan historis kawasan, karakteristik elemen fisik pembentuk kawasan, analisis adat budaya kawasan, sinkronik diakronik kawasan, karakteristik keterkaitan struktur organisasi Pabrik Gula Watoe Toelis terhadap peletakan bangunan. Analisis evaluatif meliputi analisis kerusakan/ perubahan objek bangunan kuno bersejarah dengan makna kultural dan metode development meliputi arahan pelestarian fisik dan konsep pelestarian non fisik kawasan. Potensi kesejarahan Kawasan Pabrik Gula Watoe Toelis Sidoarjo adalah adanya adat budaya kawasan, sinkronik diakronik kawasan, karakteristik keterkaitan struktur organisasi Pabrik Gula Watoe Toelis terhadap peletakan bangunan. Berdasarkan analisis sinkronik diakronik yang paling berpengaruh terhadap perkembangan kawasan adalah politik, ekonomi, sosial budaya terhadap ruang/morfologi. Analisis keterkaitan struktur organisasi terhadap peletakan bangunan berpengaruh diantara keduanya yang disesuaikan dengan tingkatan struktur jabatan, tugas dan fungsi masing-masing bagian dan untuk mempermudah dalam memperlancar proses produksi gula. Berdasarkan hasil analisis kerusakan / perubahan objek bangunan kuno bersejarah faktor 1 terdiri dari variabel bahan bangunan tidak tahan lama, selera pemilik, dan kurangya perangkat hukum yang memberikan prosentase keragaman sebesar 44,26%. Faktor 2 terdiri dari variabel kurangnya perawatan, kerusakan akibat perkembangan bangunan, ekonomi, dan sosial budaya yang memberikan prosentase keragaman sebesar 28%. Hasil dari makna kultural dengan klasifikasi potensial rendah sebesar 13 bangunan, potensial sedang sebesar 53 bangunan, dan potensial tinggi sebesar 28 bangunan. Penentuan arahan pelestarian fisik dilakukan berdasarkan klasifikasi penilaian makna kultural bangunan. Jenis arahan yang diusulkan antara lain preservasi, restorasi dan rehabilitasi. Tindakan pelestarian potensial rendah dilakukan rehabilitasi sebesar 13 bangunan (14%), potensial sedang dilakukan restorasi 53 bangunan (56%), dan potensial tinggi dilakukan preservasi sebesar 28 bangunan (30%). Konsep pelestarian secara non fisik dengan menggunakan konsep pelestarian yang berupa konsep aspek-aspek kesadaran dan inisiatif, dasar hukum, konsep dan rencana, pelaksanaan dan organisasi, dan pendanaan dikaitkan dari keluaran hasil analisis faktor.