Disparitas Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengidap Gangguan Kejiwaan

Main Author: Susanto, Ilham Putra
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/13991/1/Ilham%20Putra%20Susanto.pdf
http://repository.ub.ac.id/13991/
Daftar Isi:
  • Di Indonesia hakim dalam memutus suatu perkara juga dapat melakukan penafsiran-penafsiran sebagai bentuk dari penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim. Secara tidak langsung karena hal tersebut maka antar satu putusan dengan putusan lain sangat mungkin terjadi disparitas putusan dimana hal tersebut bukanlah suatu hal yang dilarang di Indonesia. Namun dengan adanya disparitas dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan bagi para pihak. Pasal 44 KUHP merupakan pasal yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana bagi penderita gangguan jiwa. Hakim seringkali berbeda penafsiran mengenai ketentuan dari pasal tersebut seperti halnya dalam putusan Putusan ung Nomor: 94-K/PM.II-09/AD/V/2016 dan Putusan Nomor: 109-K/PM.III-12/AL/VI/2017. Dari dua putusan tersebut terdapat persamaan yaitu kedua terpidana sama-sama mengidap gangguan kejiwaan jenis skizofrenia yang dibuktikan oleh keterangan ahli kejiwaan. Namun kedua putusan tersebut memiliki perbedaan putusan yakni dalam putusan pertama majelis hakim tidak sependapat dengan keterangan ahli dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, sedangkan dalam putusan kedua hakim sependapat dengan keterangan ahli dan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan Berdasarkan latar belakang diatas, fokus permasalahan pada penelitian ini adalah apa dasar pertimbangan hakim sehingga timbul disparitas dan apa implikasi yuridis dari adanya disparitas dari kedua putusan tersebut. Guna menjawab rumusan masalah, peneliti menggunakan metode penelitian dengan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan. Selanjutnya bahan hukum primer dan sekunder dianalisis dengan menggunakan interpretasi sistematis dan interpretasi gramatikal. Berdasarkan hasil penelitian, dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang berakibat timbulnya disparitas adalah perbedaan penafsiran hakim mengenai penilaian hakim terhadap keterangan ahli kejiwaan mengenai kondisi kejiwaan dari terdakwa. Dalam peraturan perundang-undangan memang hakim bebas menilai, namun menurut penulis hal ini kurang tepat karena menilai kondisi kejiwaan dari terdakwa bukanlah kompetensi yang dimiliki oleh hakim sehingga sepatutnya hakim lebih mempertimbangkan keterangan yang disampaikan oleh ahli karena hal ini dapat menjadikan ketidakpastian dari pasal 44 KUHP tersebut.