Pengaruh Berbagai Umur Panen Dan Lama Waktu Curing Terhadap Viabilitas Benih Melon (Cucumis Melo L.)
Main Author: | Cahyadiati, Mirna |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/13704/1/MIRNA%20CAHYADIATI.pdf http://repository.ub.ac.id/13704/ |
Daftar Isi:
- Melon adalah salah satu komoditas hortikultura yang banyak digemari oleh masyarakat karena mempunyai rasa manis, tekstur daging buah yang renyah, warna daging buah yang bervariasi dan mempunyai aroma yang khas. Melon berasal dari Lembah Panas Persia atau daerah Mediterania yang selanjutnya tersebar ke seluruh penjuru dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis dan mulai banyak dibudidayakan di Indonesia sejak tahun 1970. Berdasarkan data produksi hortikultura di Jawa Timur, produktivitas melon terus mengalami peningkatan. Meningkatnya nilai produksi akan buah melon ini, berdampak terhadap permintaan ketersediaan benih sebagai bahan tanam. Hal tersebut menyebabkan peningkatan kegiatan produksi pada perusahaan-perusahaan benih. Benih melon dari hasil musim tanam sebelumnya dituntut untuk segera ditanam kembali sebagai bahan perbanyakan benih. Demi mencapai target produksi, terkadang buah melon dipanen sebelum waktu masak fisiologisnya serta tidak medapatkan perlakuan curing yang optimal. Curing itu sendiri merupakan penanganan pasca panen dengan cara menyimpan buah pada suhu ruang sebelum dilakukan ekstraksi benih dengan tujuan meningkatkan kematangan buah. Untuk menghasilkan benih bermutu, tentunya tidak lepas dari penentuan masak fisiologisnya. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai umur panen dan lama waktu curing terhadap viablitas benih melon. Penelitian dilaksanakan di PT. BISI International Tbk Farm Karangploso pada bulan Januari sampai dengan April 2018. Penelitian mengenai umur panen dan waktu curing menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dua faktor dengan tiga kali ulangan, faktor pertama ialah umur panen yang terdiri dari empat taraf yaitu panen buah 25 HSP/Hari Setelah Polinasi (P1), panen buah 30 HSP (P2), panen buah 35 HSP (P3) dan panen buah 40 HSP (P4). Pengambilan sampel buah dilakukan secara acak terhadap buah yang sudah diberi label umur panen. Faktor kedua ialah waktu curing yang terdiri dari empat taraf yaitu waktu curing 1 hari (C1), waktu curing 4 hari (C2), waktu curing 7 hari (C3), dan waktu curing 10 hari (C4). Terdapat 16 kombinasi perlakuan dengan tiga kali ulangan yang menghasilkan 48 satuan percobaan. Adapun variabel yang diamati yaitu bobot 1000 butir (gram), rendemen hasil (%), kadar air benih (%), daya berkecambah (%), dan laju perkecambahan. Benih yang digunakan pada masing-masing ulangan yakni sebanyak 100 butir. Data yang didapatkan dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam ANOVA (uji F) dengan taraf 5%. Apabila didapatkan hasil yang berbeda nyata, makadilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf 5%. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat interaksi antara umur panen dan waktu curing pada variabel bobot 1000 butir dan laju perkecambahan. Sedangkan pengaruh yang diberikan oleh faktor tunggal masingmasing perlakuan berpengaruh nyata pada seluruh variabel pengamatan. Pada variabel rendemen benih (%) perlakuan umur panen 35 HSP (P3) sebesar 4,98% dan umur panen 40 HSP (P4) dan sebesar 5,18% memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan umur panen 25 HSP (P1) dan 30 HSP (P2). Sedangkan untukii perlakuan curing, persentase rendemen benih pada perlakuan curing 10 hari (C4) yaitu sebesar 5,12% memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan curing 1 hari (C1). Pada variabel bobot 1000 butir benih, perlakuan P4C1, P4C2, dan P4C4 memiliki bobot 1000 butir yang lebih tinggi daripada perlakuan P1 pada berbagai waktu curing dan P2 dengan perlakuan curing C1, C2, dan C3. Pada variabel kadar air, nilai persentase menurun seiring dengan bertambahnya umur panen dan waktu curing. Perlakuan panen 40 HSP (P4) hasil transformasi sebesar 15,87% atau data asli sebesar 7,48% memiliki nilai kadar air yang lebih rendah daripada perlakuan umur panen 25 HSP (P1) yaitu sebesar 7,99%. Begitu pula pada perlakuan curing, perlakuan curing 10 hari (C4) hasil transformasi sebesar 15,85% atau data asli sebesar 7,46% memiliki kadar air yang lebih rendah daripada perlakuan curing 1 hari (C1) yaitu sebesar 7,97%. Akan tetapi nilai persentase kadar air benih pada berbagai perlakuan masih tergolong dalam kisaran kadar air optimum benih. Untuk variabel daya berkecambah (%), perlakuan umur panen 35 HSP (P3) 41,02% memiliki nilai yang lebih besar daripada umur panen 25 HSP (P1) yaitu sebesar 35,36%. Sedangkan pada perlakuan curing10 hari (C4) memiliki nilai daya berkecambah sebesar 43,02%, yang lebih tinggi daripada perlakuan C1 dan C2. Pada variabel terakhir yaitu laju perkecambahan, perlakuan umur panen 40 HSP dengan waktu curing 4 hari (P4C4) sebesar 9,26 hari memiliki rata-rata laju perkecambahan yang lebih cepat daripada perlakuan P2C2, P3C1, dan P4C1.