Pola Kemitraan Antara Perum Perhutani Dengan Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus Program Pkph Di Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang)

Main Author: EdiPrastyo, Eko
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2016
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/131595/1/Article_Eko_Edi_P.pdf
http://repository.ub.ac.id/131595/2/Bab_Isi_%28I-VI%29.pdf
http://repository.ub.ac.id/131595/3/cover.pdf
http://repository.ub.ac.id/131595/4/daftar_isi.pdf
http://repository.ub.ac.id/131595/5/Lampiran.pdf
http://repository.ub.ac.id/131595/
Daftar Isi:
  • Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki peran penting bagi kehidupan manusia baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial. Hutan Indonesia dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Salah satunya adalah hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Sebagai koreksi, pengelolaan Perum Perhutani masa lalu cenderung timber oriented, yang kurang memperhitungkan variabel sosial ekonomi dan budaya dalam hutan. Ini kemudian memunculkan ketidakseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan meningkatnya konflik pengelolaan dengan masyarakat sekitar hutan. Wujud dari upaya pembenahan pengelolaan yang kurang tepat tersebut ialah dengan diluncurkanya Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada tahun 2001. PHBM ini dilakukan dengan ikut menyertakan Masyarakat Desa Hutan (MDH) dalam pengelolaan hutan melalui jiwa berbagi atau kemitraan. Tujuanya agar terjadi perubahan mindset masyarakat desa hutan untuk lebih menjaga kelestarian sumber daya hutan serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa hutan. Di Desa Kucur terdapat penyesuaian program PHBM menjadi program Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) yang telah berjalan lebih dari 10 tahun. Adapun permasalahannya adalah : 1. Bagaimana Pola Kemitraan dan aksesibilitas petani desa hutan dalam kemitraan bagi hasil pada program PKPH di Desa Kucur Kecamatan Dau Kabupaten Malang? 2.Bagaimana tingkat kesesuaian penerapan program PKPH oleh petani masyarakat desa hutan di Desa Kucur Kecamatan Dau Kabupaten Malang? 3. Apakah terdapat perbedaan tingkat pendapatan dari setiap kemitraan bagi hasil dalam program PKPH di Desa Kucur Kecamatan Dau Kabupaten Malang? Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan kuantitatif dengan desain penelitian yang digunakan yakni Studi Kasus. Pemilihan lokasi dalam penelitian ini dilakukan dengan sengaja yaitu di Desa Kucur Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan model interaktif Miles Hubermman untuk menganalisis data kualitatif dan analisis pendapatan usahatani untuk menganalisis data kuantitaif. Hasil penelitian menunjukan Program Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) adalah program penyesuian dari program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang khusus berlaku di Kabupaten Malang. Pelaksanaan program PKPH di Desa Kucur dilakukan berdasarkan kesepakatan perjanjian yang disetujui oleh Perum Perutani dan MDH pada tahun 2004. Terdapat 2 sistem kegiatan PKPH yaitu melalui kegiatan penyadapan getah pinus dan penggarapan lahan “Tetelan” (dibawah tegakan). Sistem penyadapan getah pinus adalah petani anggota kemitraan melakukan pemanenan getah pinus milik Perum Perhutani kemudian hasil panen akan dibagi hasil kepada petani tersebut dan bisa mengikuti kemitraan penggarap “Tetelan”. Sedangkan sistem penggarapan lahan “Tetelan” adalah petani anggota kemitraan penggarap lahan “Tetelan” bukan penyadap yang melakukan penanaman tanaman pertanian di bawah pohon utama dengan kewajiban membabtu menjaga kelestarian pohon utama serta ikut membantu kegiatan penyadapan getah pinus. Tidak ada pembatasan terhadap karakteristik masyarakat tertentu untuk bisa terlibat di dalam pengelolaan hutan PKPH. Sejak awal pembukaan pelaksanaan program PKPH di tahun 2001 dilakukan secara adil dan terbuka, seluruh masyarakat desa hutan tanpa terkecuali bisa ikut serta dalam program pengelolaan hutan. Berdasarkan pemilikan aset kekayaan petani responden baik dari pemilikan rumah, ternak, kendaraan, ternak maupun lahan milik dan lahan sewa menunuukan bahwa kemitraan PKPH diikuti oleh baik golongan mampu maupun kurang mampu. Seperti pada aset pemilikan tanah yang biasanya menjadi ukuran kekayaan seorang petani, menunjukan 3 anggota dari petani responden tidak memiliki lahan dan 16 diantaranya hanya memiliki 0.1 ha hingga 0.25 ha. Kemudian 7 petani lain memiliki lahan milik seluas 0.26 ha hingga 0.5 ha dan sisanya petani responden memiliki 0.51 ha hingga 0.75 ha. Maka dapat disimpulkan meski diikuti oleh semua golongan namun sebagian besar anggota kemitraan PKPH adalah petani kecil. Dalam kemitraan penggarap lahan “Tetelan” terdapat 8 indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesesuaian program PKPH dalam mencapai tujuan kelestarian hutan. Indikator 1 adalah Jumlah pohon pinus yang hidup, indikator 2 kondisi kanopi pinus karena perempesan, indikator 3 jarak tanam pertanian dengan pohon pinus, indikator 4 jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan, Indikator 5 Intensitas penyiangan, indikator 6 intensitas pemupukan, indikator 7 intensitas pengolahan lahan, indikator 8 kesediaan mengganti ke komoditas kopi. Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa secara keseluruhan pelaksanaan kemitraan penggarap tetelan masuk dalam katagori sedang. Dari 8 indikator yang dilihat 3 diantaranya memiliki skor yang rendah, 2 sedang dan 3 tinggi. Lima indikator sedang dan rendah ini adalah indikator yang berkaitan dengan kebiasaan petani responden dalam memilih komoditas hortikultura dan perawatan tanaman tersebut. Sedangkan dalam kemitraan penyadap getah pinus, berdasarkan hasil penelitian meunjukan bahwa kesesuaian penerapan PKPH cukup baik. Hasil analisis pendapatan usahatani petani penggarap lahan “Tetelan” diketahui biaya yang dikeluarkan oleh setiap petani responden per hektar adalah sebesar Rp12.208.757,00. Kemudian rata-rata penerimaan petani responden dari tanaman mereka per ha sebesar Rp26.369.864,00. Dengan demikian dapat diketahui bahwa rata-rata total pendapatan petani responden per hektar sebesar Rp14.161.137,00. Pendapatan sebesar ini didapat oleh petani responden dalam sekali musin tanam selama 8 bulan. Dengan rata-rata petani hutan memiliki lahan 1⁄4 ha, maka dapat diketahui juga setiap petani responden penggarap lahan tetalan tersebut memperoleh pendapatan sebesar Rp442.539,00. Sedangkan hasil analisis pendapatan penyadap getah pinus dalam sebulan adalah sebesar Rp247.500,00. Pendapatan dari kedua kemitraan tersebut cukup jauh, dimana nilai pendapatan penggarap lahan tetelan hampir 2x lipat dari nilai pendapatan penyadap lahan tetelan. Berdasarkan hasil penelitian perbedaan ini disebabkan oleh kebiasaan petani anggota saja yang memang tidak begitu menyukai pekerjaan menyadap getah pinus.