Kajian Etnobotani Tumbuhan Obat Di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso
Main Author: | Abdi, AfrizalMaulana |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2015
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/130887/ |
Daftar Isi:
- Pemanfaatan tumbuhan oleh manusia dewasa ini menuju ke arah tumbuhan berkhasiat obat, atau yang populer di kalangan masyarakat dengan istilah “obat herbal”, salah satunya yaitu jamu. Jamu merupakan salah satu bentuk obat herbal yang diminati oleh masyarakat. Selain itu, jamu merupakan warisan nenek moyang yang diturunkan dari generasi ke generasi. Pertimbangan masyarakat memilih jamu yaitu harganya relatif terjangkau serta efek samping yang ditimbulkan tidak begitu dirasakan daripada menggunakan obat-obatan sintetis. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pada tahun 2012 penduduk Indonesia yang menggunakan obat tradisional yaitu 28,12% serta pengobatan lainnya 4,93%. Sedangkan penduduk di Jawa Timur menggunakan obat tradisional sebesar 28,12% yang terdiri dari 27,99% laki-laki dan 28,25% perempuan (Badan Pusat Statistik, 2014). Istilah etnobotani berasal dari bahasa Yunani yaitu ethnos dan botanē. Gabungan dari kata ethnos dan botanē itulah yang sekarang dipelajari menjadi sebuah suatu cabang ilmu interdisipliner yang terdiri dari antropologi, botani, pertanian, ekologi, serta linguistik. Menurut Walujo (2008) secara harfiah etnobotani ialah ilmu yang mempelajari interaksi suatu kelompok masyarakat dengan tumbuhan. Sejauh ini belum terdapat informasi dan dokumentasi mengenai tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh suku Madura di Kecamatan Wringin, Kabupaten Bondowoso. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian mengenai kajian etnobotani tumbuhan obat di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso. Tujuan penelitian ini antara lain untuk Mengetahui dan mempelajari pemanfaatan tanaman obat di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso dan untuk mengetahui cara budidaya dan konservasi tumbuhan obat oleh Suku Madura di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu Masyarakat Suku Madura di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso masih memanfaatkan tumbuhan obat serta terdapat budidaya tumbuhan obat di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso Penelitian telah dilaksanakan di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso. Kegiatan penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu dari Januari hingga Maret 2015. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah alat tulis, kamera digital, alat perekam, label, alat press herbarium, gunting, parang, komputer, trashbag transparan serta koran bekas. Bahan yang digunakan adalah daftar pertanyaan, alkohol 70%, serta sampel tumbuhan obat yang disebutkan responden. Data monografi Kecamatan Wringin digunakan sebagai penunjang dalam penelitian. Pelaksanaan penelitian terdiri dari survei pendahuluan, wawancara, dan observasi. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Data disajikan dalam bentuk deskripsi, dilengkapi tabel, grafik, dan dokumentasi. Hasil inventarisasi spesies tumbuhan kemudian dihitung menggunakan rumus CSI (Cultural Significance Index) oleh Silva et al. (2006). Responden yang terdapat dalam penelitian yaitu 6 orang yang berasal dari 5 desa. Keseluruhan responden yang telah diwawancarai adalah perempuan. ii Terdapat 59 spesies tumbuhan yang termasuk dalam 32 famili yang dimanfaatkan oleh responden di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso. Sebagian tumbuhan-tumbuhan tersebut hanya dikenal oleh pembuat jamu. Hal ini disebabkan karena keahlian meracik jamu hanya diturunkan melalui orang tua pembuat jamu secara lisan. Berdasarkan penelitian didapatkan 32 famili tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh responden. Famili Zingiberaceae merupakan famili dengan spesies, khasiat, dan pemanfaatan terbanyak. Tumbuhan famili ini banyak dimanfaatkan karena di kondisi lingkungan di Kecamatan Wringin sangat cocok dengan syarat tumbuhnya. Kecamatan Wringin terletak pada ketinggian 460-500 mdpl. Menurut Sari et al. (2012) sampai pada ketinggian 500 m dpl ditemukan 5 spesies tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Zingiberaceae yaitu pacing (Costus speciosus), temuireng (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kunci (Kaempferia pandurata), dan lempuyang (Zingiber americans). Kecamatan Wringin terletak pada ketinggian 460 – 500 meter dpl, sehingga tumbuhan ini dapat ditemukan. Organ tumbuhan yang digunakan yaitu bunga (kembhâng), daun (dâun), rimpang (temmuh), buah (buâ), seluruh bagian tumbuhan (kakabbhiennah).Daun merupakan organ tumbuhan paling banyak digunakan dibandingkan organ tumbuhan yang lain. Daun memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan organ yang lainnya, sehingga ketersediaannya tidak tergantung musim Sebanyak 43% tumbuhan obat merupakan tumbuhan liar yang diambil langsung dari habitatnya. Beberapa spesies merupakan tumbuhan dengan status kelangkaan tergolong terkikis dan jarang (bengle dan pulai). Bahan baku pembuatan jamu yang merupakan tumbuhan liar yang telah dijual di pasar berkisar 19%. Beberapa tumbuhan obat misalnya bengle, sirih, dan temugiring dijual di pasar. Pasokan tumbuhan obat ini diperoleh dari orèng ghunung yang berarti “orang gunung”. Pengepul menjual bahan baku tersebut dalam partai besar dan menjualnya pada pedagang di pasar. Kegiatan penambangan tumbuhan obat secara terus-menerus dari habitatnya tanpa adanya usaha untuk mengkonservasi dapat mengancam kelangsungan hidup tumbuhan itu sendiri. Kegiatan penambangan sumberdaya tumbuhan obat yang tidak dikontrol maka sangat dimungkinkan apabila tumbuhan tersebut hilang dari ekosistem tersebut. Akibatnya ekosistem kehilangan keseimbangan dan menjadi terganggu. Terganggunya ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan tumbuhan obat menjadi salah satu ancaman yang patut diperhatikan. Salah satu bentuk konservasi tumbuhan yakni dengan domestikasi. Domestikasi tumbuhan bisa dalam bentuk budidaya di pekarangan. Pekarangan merupakan lahan di sekitar rumah yang biasanya kurang dimanfaatkan secara optimal. Setiap suku di Indonesia tentunya memiliki konsep lanskap pekarangan, begitu pula dengan Suku Madura. Konsep lanskap pekarangan rumah tradisional Suku Madura dikenal dengan sebutan tanèyan lanjhâng, yang berarti “halaman panjang”. Selain tempat konservasi tumbuhan liar, adanya tumbuhan obat di pekarangan di tanèyan lanjhâng dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga.