Daftar Isi:
  • Perkembangan pangan olahan di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Terutama olahan pangan yang berbahan dasar tepung terigu. Salah satu solusi untuk mengurangi masalah tersebut adalah dengan memanfaatkan tepung yang berbahan baku lokal dalam hal untuk mensubstitusi makanan berbasis tepung terigu. Salah satu bahan baku lokal yang dapat dimanfaatkan adalah ubi kayu. Menurut Dinas pertanian Kabupaten Trenggalek, Desa Prambon pada Kecamatan Tugu merupakan desa terbesar penghasil tanaman ubi kayu dengan produksi sebesar 10.863 ton dengan luas panen 418 ha. Petani di Desa Prambon berusahatani ubi kayu pada lahan milik Perum Perhutani dengan pola agroforestri. Penjualan ubi kayu oleh petani dilakukan dalam dua bentuk yaitu yang menjual dalam bentuk segar dan yang menjual dalam bentuk chip gaplek. Substitusi tepung terigu dari bahan baku lokal ubi kayu dapat menjadikan permintaan ubi kayu tersebut juga semakin tinggi. Permintaan ubi kayu yang tinggi menjadikan pendapatan petani ubi kayu juga semakin meningkat dan seharusnya usahatani ubi kayu semakin layak untuk dilaksanakan. Namun dalam kenyataanya masyarakat di Desa Prambon menanam ubi kayu tidak secara intensif. Hal tersebut yang mendasari penelitian ini apakah usahatani yang dilakukan secara tidak intensif tersebut masih layak untuk dikembangkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui biaya dan pendapatan yang diterima oleh petani dengan cara penjualan yang berbeda. Selain itu juga menganalisis tentang kelayakan usahatani ubi kayu yang telah diusahakan selama beberapa tahun. Penentuan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode Simple Random Sampling dengan jumlah 48 petani. Metode pengumpulan data yaitu dengan wawancara, observasi, dokumentasi dan studi literatur. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk menggambarkan pola kemitraan antara petani dengan perhutani. Analisis kuantitatif yang meliputi analisis pendapatan, analisis kelayakan menggunakan BEP dan R/C Ratio serta untuk membedakan antara penjualan dalam bentuk segar dan chip gaplek menggunakan uji beda rata-rata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kemitraan yang dilakukan di Desa Prambon dalam usahatani ubi kayu adalah pola kemitraan Perum Perhutani dengan petani. Melalui pola kemitraan ini para petani bekerjasama dengan Perum Perhutani untuk membentuk suatu lembaga yaitu LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dengan progam PHBM. Kemitraan yang dilakukan oleh pihak Perum Perhutani ini dapat mengurangi biaya usahatani ubi kayu. Hal ini dikarenakan dengan tidak perlu membayar sewa lahan para petani dapat menanam ubi kayu dengan mentaati peraturan yang berlaku dari Perum Perhutani. Apabila peraturan-peraturan yang diberikan oleh Perum Perhutani tidak diterapkan maka akan mendapatkan sanksi dari Perum Perhutani yaitu berupa garapan lahan tersebut akan dicabut oleh Perum Perhutani. Apabila garapan lahan tersebut dicabut akan menyebabkan pendapatan petani berkurang dan dapat menambah biaya usahatani ubi kayu. Rata-rata total biaya petani yang menjual dalam bentuk segar sebesar Rp 3.804.780,91/Ha, sedangkan rata-rata total biaya petani yang menjual dalam bentuk chip gaplek sebesar Rp 4.122.971,60/Ha. Selisih biaya antara kedua jenis petani tersebut adalah Rp 318.190,70/Ha. Biaya produksi yang lebih tinggi ini dikarenakan petani yang menjual dalam bentuk chip gaplek memerlukan tenaga tambahan untuk mencacah ubi kayu sedangkan untuk penjualan dalam bentuk segar tidak memerlukan tenaga kerja tambahan. Rata-rata pendapatan petani ubi kayu yang menjual dalam bentuk chip lebih sebesar Rp 4.248.017,14/Ha sedangkan pendapatan petani yang menjual dalam bentuk chip gaplek sebesar Rp 2.020.640,55/Ha. Selisih rata-rata pendapatan usahatani ubi kayu tersebut sebesar Rp 2.227.376,59/Ha. Rata-rata pendapatan petani yang menjual dalam bentuk chip gaplek lebih besar dikarenakan harga jual ubi kayu dalam bentuk chip gaplek lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual ubi kayu segar. Hasil uji Mann-Whitney diperoleh nilai Asymp. Sig(2-tailed) untuk total biaya sebesar 0.792 yang berarti antara rata-rata total biaya usahatani ubi kayu yang menjual dalam bentuk segar dan yang menjual dalam bentuk chip tidak ada perbedaan secara nyata. Disamping itu nilai Asymp. Sig(2-tailed) untuk pendapatan sebesar 0.000 yang berarti antara rata-rata pendapatan usahatani ubi kayu yang menjual dalam bentuk segar dan yang menjual dalam bentuk chip ada perbedaan secara nyata. Tingkat kelayakan usahatani ubi kayu yang menjual dalam bentuk chip gaplek lebih layak dibandingkan dengan yang menjual dalam bentuk segar. Hal ini ditunjukkan dari nilai R/C ratio usahatani yang menjual dalam bentuk chip gaplek lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani yang menjual dalam bentuk segar yaitu sebesar 2,03 sedangkan untuk penjualan dalam bentuk segar adalah 1,53. Selain hal tersebut juga ditunjukkan dengan nilai BEP unit dan BEP penerimaan usahatani ubi kayu yang menjual dalam bentuk chip gaplek lebih rendah dengan nilainya berturut turut adalah 250,34 kg dan Rp 625.855,39 sedangkan untuk petani yang menjual dalam bentuk segar adalah 904,86 kg dan Rp 734.510,04. Disamping itu nilai selisih harga dengan BEP harga lebih besar yang menjual dalam bentuk chip gaplek yaitu Rp 1.268,67 sedangkan selisih harga untuk penjualan dalam bentuk segar sebesar Rp 281,54. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka disaran yaitu perlunya peningkatan kesadaran petani pesanggem agar selalu menerapkan peraturan yang diberikan oleh Perhutani. Peningkatan kesadaran dapat dilakukan dengan cara melakukan pertemuan yang dibina oleh LMDH agar tumbuh rasa saling memiliki. Hal ini ditujukan untuk kebaikan petani pesanggem juga yaitu agar lahan garapan yang diberikan oleh Perhutani secara gratis tidak dicabut. Selain itu diharapkan petugas Perhutani dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat agar petani pesanggem tidak banyak melanggar peraturan. Sebaiknya petani dalam menjual hasil panen ubi kayu lebih memilih dalam bentuk chip gaplek. Hal ini dikarenakan selain harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan bentuk segar juga dapat memudahkan dalam proses pengankutan karena berat chip gaplek yang lebih ringan. Disamping itu kulit ubi kayu dari sisa mebuat chip gaplek juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sehingga dapat meminimalkan pencurian daun tanaman pokok.