Tradisi Kasor Beddhih Di Desa Legung Timur, Kecamatan Batang Batang, Kabupaten Sumenep Di Tengah Gempuran Modernisasi Globalisasi Pasca Beroperasinya Jembatan Suramadu

Main Author: Kamilia, Anisa El
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/13069/
Daftar Isi:
  • Salah satu keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia adalah tradisi Kasor Beddhih (Kasur Pasir) yaitu tradisi masyarakat kampung nelayan, Desa Legung Timur, Kecamatan Batang Batang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur yang tidur di pasir setiap hari. Masyarakat di desa ini, tidak bisa lepas dari pasir. Era modernisasi globalisasi adalah masa yang sulit untuk mempertahankan tradisi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa karakter masyarakat dalam mempertahankan tradisi, kondisi pra dan pasca beroperasinya Jembatan Suramadu, potensi pencemaran pantai terhadap tradisi mereka, dan pandangan masyarakat terhadap keberlanjutan tradisi di sepuluh tahun mendatang. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan pendekatan antropologis. Data primer bersumber dari enam informan yang merupakan pelaku tradisi. Data sekunder menggunakan data dokumentasi dan laporan-laporan sebelumnya. Teknik penentuan sampel menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan datanya menggunakan observasi lapang dan wawancara semiterstruktur. Karakter umum masyarakat Desa Legung Timur adalah ramah, memperhatikan tatakrama, memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. hidup tradisional, penampilan kesehariannya sederhana, cenderung mempertahankan peninggalan orang tua dan kebanyakan tidak memiliki kebutuhan yang tinggi pada produk IT. Keberadaan Suramadu yang membuka peluang datangnya wisatawan tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi pelaksanaan tradisi dan budaya mereka, namun masyarakat merasakan perubahan dalam perkembangan infrastruktur dan minat masyarakat luar terhadap tradisi ini. Pencemaran pada bibir pantai tidak berpengaruh pada pasir yang digunakan untuk tradisi sebab lokasi pengambilan pasir untuk tradisi berada jauh dari bibir pantai. Masyarakat mengaku optimis bahwa tradisi ini akan tetap lestari di sepuluh tahun mendatang sebab manfaat yang dirasakan begitu besar dan regenerasi tradisi telah dimulai sejak dini.