Analisis Daya Saing Perdagangan Biji Kakao Indonesia Di Pasar Uni Eropa
Daftar Isi:
- Saat ini kakao menjadi komoditi perkebunan unggulan ke-3 setelah kelapa sawit dan karet. Kakao ini memberikan kontribusi bagi penciptaan lapangan kerja. Selain itu juga mendatangkan devisa, karena 40 persen produksi kakao Indonesia di ekspor. Pada 2011 lalu, jumlah devisa negara dari kakao mencapai Rp1,34 miliar dengan jumlah masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kakao mencapai 1,6 juta kepala keluarga (KK). Kondisi ini akan terus dijaga dan ditingkatkan di masa mendatang. Selain ada keunggulan yang dimiliki, komoditi kakao di Indonesia ini juga mengalami kendala, yaitu penurunan tingkat produktivitas karena banyak pohon-pohon tua atau perawatan yang kurang. Selanjutnya, rendahnya mutu biji, serta biji kakao yang sebagian besar belum difermentasi (Suswono, 2013 dalam Pos Metro Padang, 2013) Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan, yang peranannya penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor yang memiliki keunggulan komparatif yang menjadi modal utama yang harus ada pada suatu produk untuk memiliki kekuatan kompetitif. Permintaan ekspor kakao Indonesia oleh negara mitra dagang didominasi oleh biji kakao. Berdasarkan FAO (2010) (Food and Agriculture Organization of The United Nations), Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading. Hal ini tentu saja membuat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menguasai pasar komoditas kakao. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis posisi daya saing komparatif dan kompetitif komoditas biji kakao Indonesia terhadap negara pesaing Indonesia di pasar Uni Eropa, seperti Pantai Gading, Ghana, Nigeria dan Kamerun, (2) Menganalisis ketergantungan perdagangan biji kakao Indonesia terhadap kondisi perekonomian negara mitra dagang Indonesia di Uni Eropa, seperti Jerman, Belanda, Belgia, Italia, dan Spanyol. Komoditas yang menjadi pilihan adalah biji kakao dengan HS 1801. Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis daya saing perdagangan biji kakao Indonesia di pasar Uni Eropa dari sudut pandang komparatif adalah dengan Revealed Comparative Advantage. Untuk menganalisis kemampuan daya saing biji kakao Indonesia dengan negara eksportir lainnya dari segi kompetitif digunakan metode Export Competitiveness Index. Peneliti juga menambahkan metode Indeks Konsentrasi Pasar untuk melihat ketergantungan ekspor biji kakao Indonesia ke negara tujuan di beberapa negara Uni Eropa, seperti Jerman, Belanda, Belgia, Italia, dan Spanyol. Melalui analisis Revealed Comparative Advantage diketahui bahwa dari sudut pandang komparatif, komoditas biji kakao Indonesia memiliki daya saing ekspor biji kakao cukup tinggi. Namun, daya saing komparatif biji kakao Indonesia (5,98) di pasar Uni Eropa jauh dibawah negara-negara pesaingnya seperti Pantai Gading (263,36), Ghana (284,67), Nigeria (12,13), dan Kamerun (77,42). Hal yang menyebabkan daya saing komparatif biji kakao Indonesia adalah rendahnya mutu kakao Indonesia dikarenakan biji kakao Indonesia jarang yang difermentasi terlebih dahulu, sehingga harga jualnya rendah di pasar Uni Eropa dan mengakibatkan nilai ekspor biji kakaonya rendah. Dengan analisis Export Competitiveness Index didapatkan hasil bahwa dalam kurun waktu 1991-2010, rata-rata Indonesia memiliki kemampuan daya saing biji kakao yang cukup kuat di pasar Uni Eropa dan memiliki kemampuan untuk bersaing dengan negara lain yang merupakan negara pesaingnya. Jika dilihat rata-rata nilai ECI masing-masing negara, maka nilai ECI Indonesia dan Kamerun yang tertinggi dalam periode 1991-2010, yaitu 1,05. Diikuti oleh Nigeria (1,01), Pantai Gading dan Ghana yang sama-sama memiliki nilai rata-rata ECI 0,98. Melalui analisis Indeks Konsentrasi Pasar dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 1991-2010 rata-rata nilai IKP Indonesia terhadap mitra dagang Jerman, Belanda, Belgia, Italia, dan Spanyol dibawah angka 1, yakni 0,07. Dengan demikian pada 20 tahun tersebut Indonesia memiliki ketergantungan yang kecil terhadap Jerman, Belanda, Belgia, Italia, dan Spanyol atas ekspor biji kakao Indonesia ke negara tersebut. Jika terjadi kondisi yang tidak stabil di negara tersebut, maka kecil kemungkinan akan mempengaruhi ekspor biji kakao negara Indonesia ke negara tersebut. Berdasarkan penelitian, maka diharapkan pemerintah dapat memberlakukan secara wajib atas penanganan mutu biji kakao sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga menghasilkan biji kakao yang berkualitas baik. Pemerintah juga harus memberikan pelatihan kepada petani kakao untuk menggalakkan pengelolaan kakao dengan cara fermentasi, sehingga mutu dan kualitas kakao dapat ditingkatkan. Secara umum komoditas kakao Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Kondisi ini perlu dipertahankan oleh Indonesia, bahkan perlu ditingkatkan.