Daftar Isi:
  • Kebutuhan akan pangan dapat dipenuhi melalui bahan makanan pokok yang dihasilkan oleh sektor pertanian yang mengandung banyak karbohidrat seperti padi, jagung, umbi-umbian dan gandum. Menurut Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI (2012), beras merupakan bahan pangan dan sumber kalori utama bagi sebagian besar bangsa Indonesia dimana kontribusi beras dalam kelompok padi-padian sebesar 996 kkal/kap/hari atau mencapai 80,6% terhadap total energi padi-padian (1.236 kkal/kap/hari) pada tahun 2011. Selain produksi domestik, usaha pemenuhan kebutuhan konsumsi beras dapat ditempuh oleh pemerintah melalui impor. Impor beras dilakukan jika terjadi defisit penawaran beras di Indonesia. Namun jika kebutuhan akan beras digantungkan penuh dari impor maka akan mengganggu kemandirian pangan suatu negara. Kebijakan proteksi merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif adanya impor beras. Kebijakan ini berupa kebijakan pengenaan tarif atau pembebanan biaya atas beras yang diimpor ke Indonesia. Dalam Inpres No. 9 Tahun 2002 tertuang bahwa kebijakan tarif impor sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor beras sehingga dapat melindungi petani sekaligus melindungi konsumen dalam negeri. Ketergantungan secara terus menerus kepada negara–negara pengekspor beras utama di dunia akan merugikan posisi ekonomi Indonesia. Tingginya volume impor juga secara langsung akan berpengaruh terhadap turunnya harga beras domestik. Sesuai dengan konsep permintaan dan penawaran. Kondisi ini dikhawatirkan akan mempengaruhi petani untuk mengurangi bahkan menghentikan produksi beras dan akan beralih untuk melakukan budidaya komoditas lain yang mempunyai insentif lebih besar. Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan perkembangan perberasan Indonesia, (2) menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap produksi beras nasional, (3) menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap permintaan beras nasional, (4) mengetahui dampak kebijakan tarif impor beras yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data tahunan dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1995 – 2010. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi data jumlah penduduk Indonesia; diambil dari situs resmi FAOSTAT meliputi: harga beras impor (Thailand), harga beras (Indonesia), volume impor beras serta luas areal panen dan Departemen Pertanian (Deptan). Untuk menjelaskan kondisi perbersanan Indonesia tahun 1995-2010 digunakan metode analisis deskriptif dan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan menggunakan model persamaan regresi berganda digunakan untuk mengestimasi dampak kebijakan tarif terhadap produksi beras nasional dan permintaan impor beras. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh informasi bahwa rata-rata produksi dan konsumsi beras domestik setiap tahun periode tahun 1995-2010 adalah 34,26 juta ton dan 36,12 juta ton dengan rata-rata jumlah penduduk 220.135.000 jiwa setiap tahun. Selisih dari besarnya konsumsi dan produksi beras domestik kemudian dipenuhi dengan cara melakukan impor beras. Rata-rata impor beras Indonesia setiap tahun adalah sebesar 1,92 juta ton. Impor beras dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras domestik. Sebagai pengendali jumlah impor beras yang masuk ke Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan proteksi dengan mengenakan tarif eksplisit sebesar Rp 430/kg pada tahun 2000 kemudian dikoreksi kembali oleh pemerintah menjadi Rp 450/kg pada tahun 2005. Adanya penerapan kebijakan tarif (tarif eksplisit) berdampak positif terhadap produksi beras di Indonesia dengan koefisien regresi sebesar sebesar 6,874 pada tingkat signifikansi 0,001, hal ini menunjukkan bahwa tarif eksplisit (TE) berpengaruh nyata terhadap produksi beras di Indonesia pada taraf kepercayaan 99,9%. Hubungan tersebut bernilai positif yang berarti bahwa kenaikan tarif eksplisit akan mengakibatkan kenaikan produksi beras di Indonesia. Variabel tarif eksplisit merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap produksi beras di Indonesia. Sementara variabel-variabel lain yang juga berpengaruh nyata terhadap produksi beras nasional adalah luas areal tanam dan harga beras di tingkat produsen. Penerapan kebijakan tarif proteksi (tarif eksplisit) berdampak negatif terhadap permintaan impor beras di Indonesia dengan koefisien regresi sebesar -1,019 pada tingkat signifikansi 0,615, hal ini menunjukkan bahwa tarif eksplisit (TE) tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan impor beras di Indonesia. Sementara variabel lain yang berpengaruh nyata dan menunjukkan pengaruh terbesar terhadap permintaan impor beras Indonesia adalah variabel konsumsi per kapita dengan koefisien regresi sebesar 1,852 pada tingkat signifikansi 0,002. Pengenaan tarif eksplisit oleh pemerintah akan berdampak pada perubahan surplus konsumen, produsen, penerimaan pemerintah dan akan berdampak pula pada adanya perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pada tarif eksplisit Rp 430 /kg surplus produsen rata-rata sebesar Rp 15,5 triliun dan pada tarif eksplisit Rp 450 /kg rata-rata surplus produsen meningkat menjadi Rp 17,3 triliun. Sedangkan rata-rata surplus konsumen semakin mengalami penurunan yakni dari Rp -15,7 triliun menjadi Rp -17,5 triliun. Penerimaan pemerintah mengalami peningkatan dari Rp 0,110 triliun menjadi Rp 0,115 triliun akibat adanya peningkatan tarif eksplisit dari Rp 430 /kg menjadi Rp 450 /kg. Sehingga secara keseluruhan menyebabkan kesejahteraan sosial menurun dari Rp -94,2 miliar ketika tarif eksplisit Rp 430/kg menjadi Rp -103,2 miliar pada saat tarif eksplisit meningkat menjadi Rp 450 /kg. Sehingga kebijakan tarif impor beras sebesar Rp 430/kg dan Rp 450/kg mampu meningkatkan kesejahteraan produsen dan penerimaan pemerintah. Namun demikian kebijakan tersebut menyebabkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat secara keseluruhan mengalami penurunan. Sehingga pemerintah harus tetap mempertahankan kebijakan tarif eksplisit sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan produksi beras nasional dan untuk mengurangi volume impor beras yang dilakukan Indonesia. Selain itu pemerintah dalam menetapkan kebijakan tarif impor beras harus memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap semua sisi, baik dari sisi produsen, konsumen maupun pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.