Daftar Isi:
  • Keberadaan tepi laut atau pesisir pantai merupakan ruang yang relatif dominan bagi permukiman perairan di Indonesia. Dari sekian banyak permukiman perairan di Indonesia, salah satu di antaranya adalah kawasan bermukim Suku Bajo di kampung Wuring, Kelurahan Wolomarang Kecamatan Alok Barat Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Permukiman kampung di Wuring memiliki kekhasan yaitu dibangun di atas air yang menyatu dengan daratan. Kajian spasial permukiman Suku Bajo di pesisir Wuring Kota Maumere untuk menjelaskan cirikhas permukiman masyarakat tersebut yang merupakan kampung awal peradaban masyarakat muslim dan menjadi pusat penyebaran agama Islam di Kabupaten Sikka. Latar belakang sejarah menjadi tinjauan untuk mengkaji proses terbentuknya permukiman Suku Bajo ini yang dilandasi juga oleh aspek fisik ruang dan sosial budaya masyarakat setempat. Proses terbentuknya permukiman masyarakat Suku Bajo di kampung Wuring sampai saat ini, tidak lepas dari kondisi geografis dan lingkungan alam yang dilatarbelakangi oleh kegiatan keseharian warga sebagai nelayan atau pelaut. Meski demikian, masyarakat di kawasan ini juga menginginkan perubahan yang bersifat positif pada lingkungan permukimannya. Proses perubahan terlihat pada beberapa bangunan yang berkembang atau mengalami modernisasi juga pembangunan hunian yang mulai bergeser ke arah daratan. Penelitian ini menggunakan metode analisa deskriptif kualitatif dan bersifat naturalistik yaitu berusaha menjelaskan dan menginterpretasi catatan budaya Suku Bajo, berupa dokumen historis, peta lokasi, maupun wujud fisik bangunan rumah masyarakat Suku Bajo dan objek lainnya yang ada di lapangan. Metode fenomenologi digunakan dalam penelitian ini, karena pertimbangan utamanya terkait dengan masalah utama dalam penelitian yaitu berhubungan dengan makna dalam masyarakat. Paradigma rasionalistik dan naturalistik mendukung pengetahuan yang berhubungan dengan makna khususnya yang berasal dari masyarakat. Fenomenologi adalah penelitian tentang makna pengalaman berbagi tentang suatu fenomena. Target utamanya adalah memahami makna hubungan konkrit yang menjelaskan pengalaman orisinal dari situasi spesifik. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis fenomena spasial yang terbentuk berupa sistem spasial hunian dan aspekaspek yang melandasi pembentukan tatanan (setting) spasial permukiman Suku Bajo pada kawasan kampung Wuring. Penelitian ini sebagai suatu upaya untuk mengidentifikasi kondisi awal hingga terbentuknya permukiman kampung yang didalamnya meliputi pokok pemikiran tentang perencanaan dari fungsi, bentuk, ragam bentuk dan perkembangannya terkait dengan kejadian yang melatarbelakangi terbentuknya tatanan spasial permukiman tersebut. Hasil penelitian memberikan gambaran tentang fenomena spasial hunian masyarakat Suku Bajo di pesisir Wuring Kota Maumere ini yaitu konsep tatanan spasial yang dapat dilihat dari pola pemanfatan ruang yang dilihat secara spasial vertikal dan spasial horisontal serta aksis denah hunian yang telah mengalami perkembangan karena dilandasi oleh aspek sosial budaya dan ekonomi. Fenomena spasial yang berkembang ini terlihat pada bentuk hunian panggung tunggal, panggung tumbuh dan panggung diaruma. Pada konsep sistem spasial hunian yaitu tentang organisasi ruang, orientasi ruang dan hirarki ruang dalam lingkup mikro hunian juga mengalami perkembangan yang berdampak terhadap ruang messo lingkungan. Organisasi ruang hunian yang terbentuk adalah organisasi linier dari depan ke belakang yang terdiri dari beberapa ruang utama yaitu paselo (teras depan), bundaang (ruang tamu), buliang (ruang keluarga), tingnga (ruang tidur), dapurang (dapur) dan tatambe (teras belakang). Orientasi ruang secara messo lingkungan menunjukan pada sebuah ruang yaitu ruang laut, pada jalur sirkulasi yaitu jalan serta pada sumbu imajiner yaitu deretan rumah yang bersusun rapi di depan dan di samping. Adapula orientasi ruang dalam yaitu ada ruang tertentu khususnya ruang tidur (tingnga) tersusun secara linear atau berorientasi pada sebuah ruang yaitu ruang tidur di belakang selalu sejajar dengan ruang tidur di depannya serta arah hadapnya pada ruang bundaang dan buliang di depannya. Hirarki ruang menunjukan bahwa ruang-ruang dalam hunian Suku Bajo dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu bundaang (ruang depan) yang bersifat semi publik dan buliang (ruang belakang) yang bersifat semi privat yang harus ada dalam rumah-rumah suku Bajo karena keduanya memberikan makna hirarki pada setiap upacara atau ritual adat yang dilakukan dalam rumah dengan adanya batas tegas yang memisahkan kedua ruang ini yaitu berupa dinding masif dengan akses pintu yang terletak di tengah. Hal ini merupakan fenomena spasial yang hirarkis dalam rumah-rumah suku Bajo, sehingga oleh masyarakat Suku Bajo disebut dengan ma’bunda-ang (yang berada di depan) dan ma’buli-ang (yang berada di belakang). Untuk itu dapat disimpulkan bahwa secara umum ada fenomena spasial hunian Suku Bajo yaitu adanya proses perkembangan tatanan ruang dalam (mikro) berupa fenomena ma’bunda-ma’buli serta fenomena rumah tumbuh dan fenomena rumah panggung diaruma yang berdampak pada tatanan messo lingkungan permukiman yang berkembang ke arah lautan. Selain itu adanya aspek-aspek non fisik sebagai aspek meruang dari masyarakat Suku Bajo yang melandasi pembentukan tatanan spasial permukiman pada kawasan kampung Wuring, yaitu oleh aktivitas masyarakat dalam suatu rona lingkungan (setting) berupa pemanfaatan ruang mikro hunian dan messo lingkungan dalam aktivitas, waktu melakukan aktivitas, jenis aktivitas (sosial, budaya, ekonomi) dan pelaku aktivitas yaitu kelompok pria dan wanita dewasa dan anak-anak serta oleh faktor sosial budaya lainnya yang melandasi pembentukan fenomena spasial permukiman masyarakat Suku Bajo di pesisir Wuring antara lain karena faktor internal meliputi tingkat pendidikan, pendapatan, bertambah atau berkurangnya jumlah anggota keluarga serta faktor eksternal meliputi lingkungan alam, pengaruh budaya lain dan intervensi pemerintah.