Kali Lekso sebagai Media Akses Masyarakat Desa Ngadirenggo dan Kelurahan Wlingi, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar

Main Author: Aningtiyas, Anggik
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2017
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/1215/1/Anggik%C2%A0Aningtiyas.pdf
http://repository.ub.ac.id/1215/
Daftar Isi:
  • Indonesia menjadi negara dengan wilayah geografis yang rawan akan bencana. Salah satu bencana alam yang ada adalah gunung meletus. Penelitian ini dilakukan di dua desa, yakni di Desa Ngadirenggo dan Kelurahan Wlingi. Dua desa ini secara ekologis dialiri oleh sungai dengan skala besar yang dinamai dengan Sungai Lekso, atau masyarakat sekitar menyebutnya dengan Kali Lekso. Kali Lekso memiliki riwayat sebagai jalannya lahar dingin Gunung Kelud. Material yang dibawa lahar antara lain adalah material batu dan pasir. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, dengan menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi dalam pengambilan data. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang dihadirkan oleh peneliti, yaitu (1) bagaimana masyarakat memanfaatkan dan mengakses sumber daya Kali Lekso, dan (2) bagaimana keterkaitan antara upaya pemanfaatan sumber daya Kali Lekso dengan akses kepemilikan lahan di sekitar bantaran sungai. Dua rumusan masalah ini akan peneliti kaji dengan mengaitkannya terhadap teori utama yang peneliti lakukan, yaitu teori akses (Ribot and Peluso, 2013). Peneliti juga akan menjawab rumusan masalah dengan memberikan analisis berkaitan dengan bagaimana perubahan sosio kultur yang terjadi pada masyarakat yang mengakses sumber daya sungai di Kali Lekso. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Ngadirenggo memanfaatkan sumber daya sungai dengan cara melakukan penambangan material sungai, seperti batu dan pasir. Sedangkan di Kelurahan Wlingi, masyarakat yang tinggal di bantaran sungai memiliki permukiman yang sejatinya berdiri di atas lahan gosong atau gege. Tak hanya itu, lahan gege sungai juga dimanfaatkan untuk kegiatan agraris, seperti menanam sengon dengan tujuan untuk keuntungan pribadi. Data lapangan menolak teori akses yang dikemukakan Ribot dan Peluso (2013), yakni bahwa pengakses sumber daya sungai mayoritas adalah masyarakat dengan status sosial menengah ke bawah, bukan elit desa atau seseorang yang memiliki kuasa atas suatu wilayah.