Konflik Perbatasan Pemerintah Daerah (Studi Kasus: Perebutan Gunung Kelud Antara Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri)
Main Author: | Sari, IraPermata |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2014
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/120919/1/SKRIPSI_Ira_Permata_Sari_%28105120600111039%29.pdf http://repository.ub.ac.id/120919/ |
Daftar Isi:
- Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri sekitar tahun 2001-2002 sampai sekarang (2013) berkonflik merebutkan Gunung Kelud dengan saling mengklaim sebagai pemilik sah atas Gunung Kelud. Masingmasing pemda menganggarkan dana konflik dalam APBD untuk memenangkan konflik. Konflik ini telah difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 188/113/KPTS/013/2012 tertanggal 28 Februari 2012 Tentang Penegasan Batas Wilayah yang menyebutkan Gunung Kelud masuk wilayah Kabupaten Kediri. Namun SK gubernur 188 tersebut mendapatkan reaksi penolakan oleh Pemda Kabupaten Blitar. Sedangkan sekarang telah ditetapkan oleh gubernur bahwa konflik perebutan Gunung Kelud berstatus quo . Penelitian ini mengangkat dua poin penting, pertama , tentang proses terjadinya konflik perbatasan pemda antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri sehingga dapat diperoleh penjelasan proses konflik yang masih samarsamar. Kedua , tentang faktor yang menghambat dan mendukung proses penyelesaian konflik. Jenis penelitian ini deskriptif dengan metode penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengambilan data dilakukan melalui wawancara, dokumentasi, dan observasi, dengan teknik purposive sampling . Sedangkan hasil penelitian dianalisis dengan teori Konflik Ralf Gustav Dahrendorf. Dalam proses konflik ditemukan belum adanya ketegasan dari Kemendagri menetapkan batas wilayah antardaerah di Indonesia, DPRD mendukung keberlangsungan konflik demi memperjuangkan Gunung Kelud sebagai wilayahnya tanpa mempertimbangkan aspek lain, LSM di dua kabupaten memperkuat pergerakannya untuk membela kepentingan daerahnya bukan kepentingan masyarakat kedua kabupaten, kepemimpinan gubernur yang kurang terbuka dan tegas dalam mengambil keputusan, tidak ada pengaturan kesepakatan terkait penggunaan kawasan hutan di Gunung Kelud antara Perhutani Blitar dan Kediri. Kedua pemda menghendaki Gunung Kelud sebagai miliknya, padahal Gunung Kelud berada diantara tiga kabupaten, yaitu Malang. Sedangkan peran koran lokal dalam konflik ini bukan sebagai pemerkeruh konflik, tetapi hanya membantu membentuk opini masyarakat untuk menyadari kepentingannya. Penghambat proses penyelesaian konflik yaitu, pertama , fungsi otoritas gubernur sebagai fasilitator tidak tegas dan terbuka, kedua , pemberian otonomi seluasluasnya hanya dipahami menjalankan otoda untuk mendapatkan PAD dan kesejahteraan masyarakatnya sendiri tanpa pemahaman NKRI dan pemahaman demokrasi. Ketiga sikap gengsi penyelenggara pemda mundur dari konflik. Penyelesaian konflik ini dapat didukung oleh konsolidasi antar LSM di kedua kabupaten, dan pergerakan masyarakat sipil menyuarakan keinginan mereka tanpa unsur politik dari pemda.