Dinamika hubungan masyarakat dengan pemerintah dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah [APBD] studi pada Malang Corruption Watch [MCW]
Main Author: | RifkiAdityaMulya |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2007
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/113280/1/050702497.pdf http://repository.ub.ac.id/113280/ |
Daftar Isi:
- Dinamika hubungan masyarakat dengan pemerintah merupakan bahasan yang selalu menarik untuk dikaji. Terutama, apabila kajian ini dilakukan pada Negara yang tengah mengalami fase transisi dari sebuah sistem otoritarianisme menuju pada tatanan baru yang lebih demokratis; seperti yang tengah terjadi di Indonesia. Pada konteks kebijakan, posisi masyarakat vis-à-vis pemerintah akan menentukan produk kebijakan yang dihasilkan. Apakah posisi pemerintah sangat dominan; sehingga kebijakan yang diproduk lebih mewakili kepentingan kekuasaan. Ataukah sebaliknya, posisi masyarakat lebih kuat; sehingga mereka dapat leluasa mengartikulasikan kepentingannya? Saat ini meskipun telah banyak kebijakan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat, ternyata masih terdapat pula kebijakan yang kurang mengakomodasi kepentingan masyarakat. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), adalah salah satu diantaranya. Sebagai kebijakan publik yang menyangkut nasib masyarakat di daerah, dan sebagai sumber daya publik; APBD dalam prosesnya harus melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat. Ini dimaksudkan agar terjadi proses kebijakan yang demokratis, dan kemudian dapat menghasilkan APBD yang berpihak pada masyarakat, berkeadilan sosial, serta untuk menghindari terjadinya aktifitas penyalahgunaan. Seringkali yang terjadi adalah; bahwa APBD justru merupakan representasi kepentingan pihak penguasa yang kerap berkolaborasi dengan para pengusaha. Kecenderungan anggaran yang lebih dialokasikan pada Belanja Rutin, ketimbang untuk Belanja Pembangunan; juga menunjukkan kurang berpihaknya APBD pada kebutuhan masyarakat. Sementara, mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh eksekutif daerah maupun legislatif, seringkali berjalan asal-asalan. Kalaupun mekanisme tersebut berjalan baik, ternyata juga belum jaminan bahwa aspirasi masyarakat dapat terrealisasi dalam APBD. Dilain pihak; DPRD sebagai wakil rakyat justru kerap tidak bisa mengartikulasi kepentingan rakyat. Disinilah kemudian, peran aktif civil society sebagai alternatif saluran partisipasi dibutuhkan untuk mendesakkan kepentingan masyarakat. Civil society sendiri dimaknai sebagai kumpulan institusi atau organisasi diluar pemerintah dan sektor swasta, atau sebagai ruang tempat kelompok-kelompok sosial dapat eksis dan bergerak (Hetifah SJ. Sumarto, 2004:5). Partisipasi aktif civil society tersebut dapat berupa penyaluran aspirasi masyarakat, maupun berupa pengawasan (monitoring) pada tahapan APBD, yang terdiri dari; tahap penyusunan, tahap pengesahan, tahap pelaksanaan, dan tahap pertanggung jawaban.