Kajian Yuridis Normatif Terhadap Saksi Pelaku Sebagai Justice Collabolator Dalam Tindak Pidana Korupsi
Daftar Isi:
- Tindak pidana korupsi adalah salah satu tindak pidana yang penanganannya sangat sulit dilakukan oleh para penegak hukum di Indonesia, hal ini didukung oleh para pelaku tindak pidana korupsi ini adalah para pejabat yang mempunyai kedudukan strategis dalam suatu instansi tertentu, istilah lain sering disebut sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Di dalam hal ini penegak hukum di indonesia mengadaptasi cara yang dilakukan sebelumnya yang terdapat di dalam konvensi PBB untuk menangani kasus tindak pidana korupsi yaitu menggunakan pelaku yang terlibat di dalam suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama – sama sebagai saksi untuk mengungkap kasus yang dia juga terlibat dalam kasus tersebut atau sering disebut sebagai saksi pelaku (Justice Collabolator). Rumusan masalah di dalam skripsi ini adalah : 1.) Apa urgensi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collabolator) di dalam perkara tindak pidana tertentu untuk penentuan keberadaan pelaku utama ? 2.) Bagaimana pengaturan saksi pelaku (Justice Collabolator) dalam tindak pidana korupsi? Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian normatif (yuridis-normatif), maka pendekatan yang digunakan adalah berupa pendekatan perundang-undanngan (statue approach), pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan kasus (case approach).Teknik penelusuran bahan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan (library research) dan akses internet. Hasil dari penelitian skripsi ini dikatakan bahwa didalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collabolator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu mengatur tentang perlakuan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum, di dalam peraturan tersebut dijelaskan karakteristik untuk menjadi Justice Collabolator yaitu bukan pelaku utama, sedangkan karakteristik pelaku utama tidak dijelaskan secara spesifik sehingga sering terjadi perbedaan cara pandang antara hakim, penyidik dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di dalam menentukan Justice Collabolator. Pengaturan saksi pelaku (Justice Collabolator) di dalam tindak pidana korupsi sebelumnya telah diatur di dalam hukum positif indonesia yaitu di dalam UU Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang – Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, namun hanya menyebutkan bahwa penegak hukum wajib memberikan perlindungan terhadap seorang saksi tanpa menjelaskan lebih lanjut secara spesifik tentang bentuk perlindungan hukum tersebut.