Urgensi Dan Dasar Pemikiran Hukum “Suara” Sebagai Unsur Merek Dagang (Suatu Tinjauan Yuridis Komparatif Antara Undang-Undang Merek Indonesia Dan Singapore)
Main Author: | Fanisha, Dynda |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2016
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/112739/ |
Daftar Isi:
- Pemilihan judul tersebut di latar belakangi oleh perkembangan dunia merek yang tidak hanya dikenal sebatas merek tradisional saja namun telah dipakai merek non tradisional di kalangan masyarakat internasioanal terutama merek suara atau sound mark.Hal ini menuntut adanya penyesuaiandi Indonesia agar tidak sampai terjadi adanya kekosongan hukum. Adapun permasalahan hukum yang dikemukakan yaitu: 1). Urgensi dan dasar pemikiran hukum yang memungkinkan suara sebagai bagian atau unsur dari merek di Indonesia 2).Perbandingan pengaturan suara sebagai unsur merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dengan peraturan merek di Singapore (Singapore Treaty on The Law of Trade Mark)?. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perbandingan hukum (comparation approach). Sumber data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari studi kepustakaan, konvensi-konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan Indonesia terkait merek. Data sekunder diperoleh dari jurnal-jurnal terkait merek suara dan juga penelusuran internet. Metode analisa yang digunakan adalah metode deskriptif analisis yang kemudian akan di intepretasikan dengan metode interpretasi gramatikal dan interpretasi analisis. Dari hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa perkembangan dunia periklanan dan perdagangan bebas menjadi urgensi suara dilegislasikan di Indonesia sebagai unsur dari merek. Dasar pemikiran hukum bahwa suara dapat dijadikan sebagai unsur merek adalah selama suara tersebut dapat menjadi unsur pembeda barang dan/jasa. Adanya Singapore Treaty dan Nice Agreement juga aturan beberapa Negara lain yang sudah mengatur tentang Sound Mark dapat menjadi dasar pemikiran hukum bahwa suara telah diakui secara Internasional. Selayaknya suara dilegislasi sebagai unsur merek di Indonesia agar memenuhi asas Non deskriminasi dan juga memiliki daya saing di mata Internasional. Kemudian perbandingan peraturan merek di Singapore dengan di Negara Indonesia terlihat jelas dengan adanya Singapore Treaty yang telah mengadopsi unsur-unsur merek non tradisional dan Singapore telah meratifikasi beberapa konvensi intrrnasional seperti Nice Agreement sedangkan di Negara Indonesia sudah lama sekali tidak dilakukan pembaharuan peraturan merek dan juga Indonesia belum meratifikasi Nice Agrement sebagai dasar hukum pengklasifikasian barang dan jasa di Negaranya. Saran penulis adalah sebaiknya Pemerintah Indonesia melakukan revisi terhadap peraturan merek Indonesia dan juga peraturan tentang kelas barang dan jasa untuk pendaftaran merek agar Indonesia tidak tertinggal dan memiliki daya saing yang sama dengan negara lain.