Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Sebagai Perkara Derivatif Kepailitan (Analisis Putusan Mahkamah Agung No.39pk/Pdt.Sus-Pailit/2013 Jo. Putusan Pengadilan Nia

Main Author: Wicaksono, RadenRuly
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2016
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/112557/
Daftar Isi:
  • Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Sebagai Perkara Derivatif Kepailitan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengaturan kompetensi absolut Pengadilan Niaga yang kabur. Kekaburan tersebut ditunjukkan dengan perbedaan putusan pada tingkat judex factie dan judex juris seperti yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No.39PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 Jo. Putusan Pengadilan Niaga No.02/Gugatan Lain-Lain/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengangkat rumusan masalah: (1) Kesesuaian pertimbangan hakim dalam mengadili perkara dalam Putusan Mahkamah Agung No.39PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 Jo. Putusan Pengadilan Niaga No.02/GugatanLain- Lain/ 2011/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo. No. 59/Pailit/2009/PN.Niaga. Jkt.Pst dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (2) Interpretasi Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikaitkan dengan kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili gugatan perbuatan melawan hukum sebagai perkara derivatif kepailitan. Skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case appreoach), dan pendekatan analisis (analytical approach). Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif analitis, yang kemudian hasilnya dijadikan rujukan dalam penyelesaian permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. Berdasarkan metode penelitian di atas, diperoleh bahwa pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam Putusan PK No.39PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 tidaklah sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 karena hakim Mahkamah Agung dalam membuat pertimbangannya tidak menerapkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 secara tepat Hal ini juga dikuatkan dengan metode interpretasi dan konstruksi hukum terhadap Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Hasil interpretasi dan konstruksi hukum menunjukkan Pengadilan Niaga berwenang mengadili gugatan perbuatan melawan hukum dalam ranah kepailitan dengan syarat tertentu. Dimana syarat tersebut telah terpenuhi dalam kasus perbuatan melawan hukum yang terjadi antara Iwan Darmawan Soedjadi vs. PT. GKI karena kasus tersebut salah satu pihaknya merupakan seorang kreditor dan perkaranya memiliki keterkaitan dengan harta pailit. Selain itu, interpretasi dan konstruksi hukum terhadap Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 juga menemukan indikasi bahwa pasal tersebut merupakan pasal yang tidak baik karena tidak mengikuti kaidah ix yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Maka dari itu, diperlukan revisi terhadap Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 agar tidak ada lagi perbedaan penafsiran oleh hakim pada tingkat judex factie dan judex juris yang mengakibatkan perbedaan putusan sehingga keadilan dan kepastian hukum dapat tercapai. Hakim sebagai seorang pengadil sudah seharusnya memperhatikan sebuah perkara secara komprehensif, baik dari segi perkara yang dihadapi maupun dasar hukum yang digunakan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal tersebut diperlukan agar hakim dapat menghasilkan putusan yang mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Di samping itu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, selaku lembaga negara yang menciptakan undang-undang sudah seharusnya memperhatikan apa yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sehingga menghasilkan undang-undang yang tidak multitafsir dan mempermudah hakim menerapkannya di dalam praktik.