Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Akibat Perkawinan Beda Agama Yang Tidak Dicatat (Studi Dalam Perspektif Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
Main Author: | Yunisari, Tri |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2015
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/112482/ |
Daftar Isi:
- Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Akibat Perkawinan Beda Agama yang Tidak Dicatat. Pilihan tema tersebut disebabkan Perkawinan beda agama tidak dapat dihindari lagi. Pemaknaan bunyi pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjadi perdebatan mengenai diperbolehkanya perkawinan beda agama. Undang-Undang Perkawinan juga menghendaki agar perkawinan beda agama di catat. Keadaan inilah yang menjadikan kesulitan dalam pemenuhan syarat untuk mencatat perkawinan beda agama. Berdasarkan hal tersebut, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah; Apakah urgensitas perlindungan terhadap anak akibat perkawinan beda agama yang tidak dicatat. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap anak akibat perkawinan beda agama tidak dicatat. Penulisan karya tulis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan hukum primer, sekunder , dan tersier yang diperoleh penulis dianalisis dengan menggunakan teknik analisis penafsiran gramatikal terhadap peraturan undang-undang. Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang- undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang- undang. Penafsiran digunakan dengan mencari pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan terkait mengenai isu hukum dari perkawinan beda agama dan perlindungan hukum anak Dari penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan tersebut. Pada dasarnya pasal 2 ayat 1 mengatur bagaimana suatu perkawinan dianggap perkawinan yang sah. Dari ketentuan tersebut menjadikan perkawinan beda agama dapat dinyatakan sah selama syarat formil dan syarat materil perkawinan dapat dipenuhi oleh pasangan, serta dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Apabila perkawinan beda agama tersebut tidak dicatat sesuai pasal 2 ayat 2, kerap menimbulkan stigmatisasi dimasyarakat bahwa perkawinan tersebut tidak sah. Padahal sah atau tidaknya tergantung pemenuhan syarat perkawinan dan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing dan kepercayaannya. Pencatatan perkawinan dimintakan oleh pemerintah dalam rangka disiplin administrasi, sehingga negara dapat memantau perkembangan kondisi masyarakat serta mencegah penyelundupan hukum dalam bidang perkawinan. Peraturan perundang-undangan menghendaki perlindungan anak diberikan kepada seluruh anak tanpa memandang status anak sebagai anak sah atau tidak, anak luar kawin atau tidak, status sosial, agama, dan kesehatan atau kondisi fisik anak. Oleh karenanya Anak akibat perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan, tetap diberikan perlindungan hukumnya.