Sinkronisasi Fatwa Dsn-Mui No: 68/Dsn-Mui/Iii/2008 Tentang Rahn Tasjily Terhadap Pasal 5, Pasal 7, Dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Main Author: | Andisetya, Anggarian |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2014
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/111930/1/Skripsi_-_Anggarian_Andisetya_-_Sinkronisasi_Fatwa_DSN-MUI_No_68.DSN-MUI.III.pdf http://repository.ub.ac.id/111930/ |
Daftar Isi:
- Pada skripsi ini penulis mengangkat permasalahan Sinkronisasi Fatwa DSN-MUI No: 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily Terhadap Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Tema ini dipilih terkait ketidaksesuaian jenis utang yang dapat dibebani jaminan fidusia dan rahn tasjily serta tidak disyaratkannya otentifikasi pembebanan rahn tasjily. Hal ini menuntut adanya penyelarasan. Di samping itu, konsep rahn tasjily secara substantif melimitasi akad-akad yang dapat dibebani jaminan tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas, skripsi ini mengangkat rumusan masalah: (1) Bagaimana sinkronisasi Fatwa DSN-MUI No: 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily terhadap ketentuan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? (2) Mengapa tidak setiap produk pembiayaan dapat dibebani rahn tasjily? Skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan analitis. Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh dianalisis menggunakan metode penafsiran (interpretasi), yaitu doctrinal interpretation dalam rangka memberikan penjelasan yang benar dari suatu ketentuan peraturan perundang-undangan atau kaidah tertentu. Metode penafsiran yang digunakan penulis adalah penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran analogis, penafsiran resmi, dan penafsiran komparatif. Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa utang yang telah ada dan utang yang akan ada di kemudian hari sejalan dengan kaidah syar’i, sedangkan utang yang dapat dihitung saat dilakukan eksekusi bertentangan dengan kaidah muamalah karena memuat unsur riba dan gharar (ketidakjelasan). Dengan demikian ketentuan Pasal 7 Huruf c UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan Fatwa Rahn Tasjily. Sementara itu, ketiadaan pengikatan rahn tasjily dibenarkan menurut syar’i karena rahn bersifat sunah dalam hal muamalah tangguh ketika tidak ada penulis. Akan tetapi, mempertimbangkan kedudukan hukum Islam dalam konstelasi hukum nasional, sistem hukum jaminan, dan asas hukum jaminan serta berpegang pada istishlah, sikronisasi UU Jaminan Fidusia dan Fatwa Rahn Tasjily harus dilakukan. Pasal 7 Huruf a jo. Pasal 7 Huruf b UU Jaminan Fidusia dan pengikatan jaminan sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 jo. Pasal 11 UU Jaminan Fidusia harus dimuat dalam Fatwa Rahn Tasjily. Terakhir, rahn tasjily hanya dapat dibebankan pada produk yang mengandung unsur utang, yaitu qardh dan albai’, baik murabahah bitsaman ‘ajil, salam, maupun istishna’ dengan pembayaran di awal atau pembayaran tangguh. Pembebanan rahn tasjily pada produk pembiayaan dengan akad selain qardh dan al-bai’, khususnya mudharabah dan musyarakah, tidak tepat disebabkan tidak ada unsur utang di dalamnya. Sebagai solusi pengikatan jaminan jika dipandang perlu menurut peraturan perundang-unxi dangan dan fatwa yang ada, produk pembiayaan tersebut dapat disyaratkan adanya jaminan pihak ketiga dengan berdasarkan akad kafalah.