Konflik Kepemimpinan di Kesultanan Palembang (1812-1818)

Main Author: Farida, Farida
Format: Monograph NonPeerReviewed application/pdf
Terbitan: Indeppemda Sumatera Selatan , 2012
Subjects:
Online Access: http://eprints.unsri.ac.id/3298/1/Cover.pdf
http://eprints.unsri.ac.id/3298/2/Isi.pdf
http://eprints.unsri.ac.id/3298/
Daftar Isi:
  • Kajian ini akan membahas masalah kepemimpinan di Kesultanan Palembang dengan berbagai konflik yang dihadapinya. Konflik-konflik tersebut menyebabkan Palembang mengalami kehancuran. Kesultanan besar tersebut dihapuskan pada 1825. Sebagai kerajaan besar dan luas, dalam menjalankan pemerintahannya sultan dibantu oleh para menteri untuk mengurusi masalah pemerintahan, keamanan, agama, peradilan, dan perdagangan (syahbandar). Di samping itu, mereka juga berfungsi sebagai penasehat.Munculnya konflik di Kesultanan Palembang tidak dapat dilepaskan dari faktor ekstern yaitu keinginan Inggris (Raffles) untuk menguasai Palembang yang sangat terkenal kaya. Kekayaan tersebut berasal dari pertambangan dan perkebunan, serta hasil hutan. Penolakan Sultan Mahmud Badaruddin II atas keinginan Inggris menggantikan posisi Belanda pasca di daerah ini, menjadi alasan bagi bangsa tersebut untuk melakukan ekspedisi militer. Keinginan tersebut menjadi “mudah” dengan adanya kesepakatan antara panglima perang Gillespie dan Pangeran Adipati, selaku panglima perang Palembang pada waktu itu. Inilah awal konflik berkepanjangan di Kesultanan Palembang. Konflik itu semakin meluas dengan terlibatnya Belanda pascatraktat London (1814). Akibatnya kedua bangsa (Inggris dan Belanda) tersebut berhadap-hadapan di wilayah Kesultanan Palembang. Kehadiran kembali Belanda di Kesultanan Palembang dengan berbagai kebijakan politiknya, menyebakan kedua bangsa terlibat tiga kali peperangan. Setelah dua kali mengalami kemenagan melawan Belanda, pada peperangan yang terakhir penguasa Palembang harus mengakui keunggulan Belanda. Ini lah awal penguasa Palembang selanjutnya tidak lebih hanyalah “boneka” Belanda. Perlawanan yang dilakukan oleh sultan terakhir (Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom) menyebabkan pemerintah kolonial Belanda menghapuskan Kesultanan Palembang