Penyusunan program pengentasan kemiskinan yang responsif gender di kabupaten ogan ilir provinsi sumatera selatan
Main Author: | Nengyanti |
---|---|
Format: | Book |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
, 2016
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://digilib.unsri.ac.id//index.php?p=show_detail&id=2340 http://digilib.unsri.ac.id//lib/phpthumb/phpThumb.php?src=../../images/docs/fisip.jpg.jpg |
Daftar Isi:
- ABSTRAKBanyak kebijakan pemerintah pusat dalam rangka pengarusutamaan gender dalampembangunan hingga Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, tatacarapenyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah danPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman UmumPelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Bahkan, untuk mengejawantahkannya,dikeluarkan SK Bupati Ogan Ilir No. 260/KEP/BKBPP/2011 tentang Pokja PengarusutamaanGender Kabupaten Ogan Ilir. Meskipun kebijakan pusat sudah mengamatkan kebijakanresponsif gender, ternyata belum dikuti di level kabupaten. Permasalahan penelitian,“Mengapa penyusunan program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Ogan Ilir belumresponsif gender?”Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berparadigma feminis dengan perspektifkritis. Metode pengumpulan data dengan dokumentasi, observasi, focus group discussion danwawancara mendalam. Keabsahan data dilakukan dengan trianggulasi metoda dan sumberdata.Hasil penelitian menunjukkan bahwa issue gender yang dirasakan sebagai masalahkarena kentalnya nilai patriarkhi tidak mampu mencuat ke puncak pengambilan kebijakanuntuk ditetapkan sebagai putusan program/kegiatan dan target program pengentasankemiskinan. Arus politik menunjukkan bahwa politik yang dijalankan kepala daerah dananggota dewan sebagai politik lokal telah menghambat terlaksanannya proses penyusunanperencanaan pembangunan daerah yang responsif gender. Arus masalah menunjukkan bahwakesetaraan gender yang didasari nilai patriakhi dalam masyarakat belum dianalisis denganmenggunakan analisis gender dalam menyusun perencanaan kegiatan dan target programkemiskinan. Arus masalah juga menunjukkan bahwa adanya bias pengertian gender. Dalamarus kebijakan adanya bias gender, budaya kerja tokenism serta imperative kekuasaan akibatperombakan pejabat yang semata-mata untuk kepentingan politis, dan bekerja hanyainkremental saja tidak mengupdate diri mengikuti kebijakan baru. Proses musrenbang punbelum mengakomodir analisis gender. Arus politik yang merombak personel SKPD, adanya“mimpi” kepala daerah serta upaya mempertahankan konstituen baik kepala daerah maupunanggota dewan, membuat ketiga arus tidak dalam satu pandangan. Hal ini, membuatkebijakan responsif gender dalam program pengentasan kemiskinan tersingkirkan olehusulan pembangunan fisik infrastruktur. Konsep baru adalah bias gender politik lokal yangdominan membuat penyusunan program yang responsif gender menjadi formulasi kebijakanyang tidak diputuskan (non decision formulation). Perlu Model yang direkomendasikanadalah dengan mengutamakan arus politik yang responsif gender melalui penguatankesadaran gender dan kemampuan analisis gender terhadap baik laki-laki maupunperempuan aktor kebijakan daerah di eksekutif dan legislative. Dengan kekuasaan pemerintahdaerah dapat mengupayakan definisi masalah kebijakan dalam arus masalah dan pola sertabudaya kerja birokrat menjadi responsif gender dan mereka mau bekerja kolaboratif sertaadaptif terhadap perubahan dalam penyusunan perumusan perencanaan, pelaksanaan danevaluasi program pembangunan daerah sehingga membuat penyusunan program pengentasankemiskinan menjadi responsif gender. Secara teoretis, penting untuk mengintegrasikankonsep kesetaraan dan keadilan gender dalam disiplin ilmu kebijakan publik dan administrasinegara.Kata kunci: Bias gender politik lokal, Gender, Pembangunan, Formulasi, Issue, Kemiskinan
- xxvi, 435 hlm. : tab.'