Filsafat Ilmu Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu
Main Authors: | welhendri, azwar, M.Si, Ph.D, Muliono, Muliono,MA |
---|---|
Format: | Book PeerReviewed |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
Prenadamedia Group
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.uinib.ac.id/8047/1/Filsafat%20Ilmu_Cara%20Mudah%20Memahami%20Filsafat.pdf http://repository.uinib.ac.id/8047/ |
Daftar Isi:
- Kepastian dimulai dengan keraguan, pengetahuan di- mulai dengan rasa keingintahuan, dan filsafat dimulai dari keraguan dan keingintahuan. Konsepsi meragukan segalanya dalam filsafat mengantarkan kita pada bagaimana filsafat modern dikonstruksi oleh Descartes, seorang filsuf yang mendapat predikat pemikir penting dan berpengaruh dalam sejarah Barat modern. Pendekatan yang ditegaskan Descartes bahwa “segala hal atau semua” tidak ada yang pasti, kecuali sebuah kenyataan di mana seseorang dapat berpikir. Keragu- an semacam membuktikan akan keterbatasan manusia dalam berpikir, dan kemudian mengakui akan adanya sesuatu yang berada di luar kemampuan pemikiran manusia. Dimensi pikir- an dan dimensi fisik menjadi dua hal berbeda. Hal fisik dapat diketahui dan disadari bertolak dari segenap alam pikiran. Se- dari itu, sebagai manusia, adanya keberadaan kita merupakan daya kesadaran dari adanya alam pikir. “I think therefore I am, aku berpikir maka aku ada”. Bagi Descartes, dengan metode keraguannya, ia sudah se- dang berusaha untuk mendapatkan sebuah pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Dalam perkataan lain, ilmu pengetahu- an yang bersifat pasti. Meragukan semua pengetahuan yang ada, seperti: “pengetahuan yang berasal dari pengalaman indriawi”. Pengetahuan indriawi dapat diragukan, karena apa yang tampak oleh mata dapat merekayasa kenyataan. Sebagai contoh lihatlah sebatang pensil yang berada di dalam segelas air, maka akan tampak bengkok meskipun sesungguhnya ia bukan bengkok adanya. Meragukan semua pengetahuan, seperti “fakta umum me- ngenai dunia”. Adakalanya hal mengenai dunia tidak senanti- asa berasal dari hal yang pasti atau fakta yang bersifat umum (api, panas; es, dingin; berat, akan jatuh). Kehadiran mimpi maupun intuisi yang tanpa harus menggunakan analisis siste- matis juga dapat menjadi sarana mendapatkan pengetahuan yang bersifat umum. Meragukan semua pengetahuan, seperti logika dan mate- matika. Prinsip-prinsip logika dan matematika juga dapat dira- gukan. Descartes mengandaikan bagaimana jika manusia ber- ada dalam suatu matriks di mana ilusi dalam pikiran dibubuhi oleh sesuatu kekuatan yang berada di luar diri manusia. Maka logika dan prinsip matematika yang dikenal dengan unsur ke- pastian menjadi tidak pasti lagi.Keraguan ini, sekali lagi, sebuah pengantar untuk menca- ri pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Kalau begitu, apa yang tidak dapat diragukan lagi? pertanyaan ini bermuara pada pikiran manusialah satu-satunya sebagai sesuatu yang absolut, dan tidak dapat diragukan keberadaannya. Kendatipun pemi- kiran tentang sesuatu adalah salah, pikiran dapat tertipu oleh suatu matriks, ragu akan segalanya, namun yang tidak dapat di- ragukan lagi, adalah pikiran itu sendiri, pikiran itu sendiri eksis atau ada. Pikiran itu sendiri bersifat mental, bukan bersifat fisik atau material. Prinsip pikiran itu “ada” atau eksis, dapat mem- buktikan segala benda immateri dan materi itu ada. Filsafat melibatkan refleksi diri dan pemikiran secara rasio- nal dan kritis. Sebagai cabang dari filsafat, filsafat ilmu meru- pakan refleksi pemikiran secara kritis mengenai ilmu pengeta- huan. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana pula konsep tersebut diproduksi, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkira- kan dan serta memanfaatkan alam melalui teknologi. Filsafat ilmu secara kritis menelaah bagaimana cara menentukan va- liditas dari sebuah informasi baik formulasi maupun penggu- naan metode ilmiah, berbagai macam penalaran yang dapat digunakan untuk memperoleh sebuah kesimpulan, serta impli- kasi metode dan model ilmiah yang diterapkan terhadap ilmu pengetahuan, baik ilmu alam maupun ilmu sosial dan implikasi terhadap masyarakat secara sosial. Atas kerangka tersebut di atas, filsafat ilmu erat berkaitan dengan apa yang disebut dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi berkenaan dengan metafisika, epistemologi berkenaan dengan teori pengetahuan atau secara lebih spesifik bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan, aksiologi berkena- an dengan teori nilai, atau nilai guna ilmu pengetahuan. Secara lugas, ketiga dasar-dasar ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi secara filosofis akan dibahas pada bagian lima. Pembahasan filsafat ilmu di dalam buku ini, dalam kerang- ka mengkaji persoalan di atas diklasifikasi ke dalam delapan bagian. Bagian pertama, mengulas filsafat dan ilmu pengetahu- an dengan pendekatan definitif dan serta objek kajian masing- masing. Mengawali dengan pendekatan definitif tentunya di- tujukan untuk mendekatkan dan serta mengantarkan pembaca secara umum sebelum memasuki arena bagian-bagian lebih mendalam di bagian selanjutnya. Bagian kedua, menampilkan filsafat dan filsafat ilmu dalam perspektif sejarah. Tiga tokoh utama dalam filsafat, yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles di- nukil pemikirannya dalam memberi kerangka mengenai ilmu dan pengetahuan di era modern saat ini. Kajian sejarah juga digunakan untuk menempatkan titik tolak bagaimana wacana dan pola pemikiran yang mendasari periodisasi perkembangan filsafat ilmu pengetahuan sampai pada masa kontemporer. Bagian ketiga dalam buku ini mendekatkan pembaca un- tuk memahami secara signifikan mengenai pengetahuan. Pe- ngetahuan ilmiah yang sudah sedang begitu seksi pada era modern untuk diperbincangkan, bukan saja disebabkan fungsi instrumental yang dimiliki, akan tetapi juga pada dampak yang ditimbulkan, pada dasarnya bukan satu-satunya sumber dari pengetahuan. Dengan memahami ini, setidaknya mengarah- kan para ilmuwan secara etis untuk dapat menyadari akan ni- lai dan tanggung jawab moral pengetahuan. Meskipun secara dialektis dan kritis akan berbenturan dalam makna kebenaran yang diklaim oleh masing-masing pengetahuan, namun di sini akan menempatkan kita pada dimensi demokratis dalam pe- mahaman mengenai pengetahuan. Persoalan kebenaran kadangkala menjadi rumit untuk di- telaah ketika setiap unsur dan jenis elemen berbenturan me- ngedepankan klaimnya. Ilmu pengetahuan sangat berkait erat dengan kebenaran. Atas spirit untuk mencari kebenaran pe- ngetahuan, sebagaimana dalam pandangan Khun, terus ber- kembang secara revolutif yang ditandai dengan keberadaan paradigma yang mendominasi suatu pemikiran tertentu pada era tertentu pula. Bagian keempat dan kelima dalam buku ini mengantarkan pembaca untuk lebih memahami makna kebenaran di dalam ilmu dan pengetahuan. Secara spesifik, ilmu berusaha untuk menjelaskan tentang apa dan bagaima- na alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam baik seca- ra alam maupun secara sosial. Untuk tujuan ini, ilmu meng- gunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis, serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individu di dalam suatu masyarakat. Logika ilmu dibutuhkan sebagai sandaran untuk menghasilkan kebenaran yang valid dan sahih, baik prosesnya mengikuti alur deduksi maupun induksi. Bagian keenam akan menjelaskan hal ini, yakni pada logika ilmu dan metode ber- pikir ilmiah. Ibarat pergi ke hutan rimba, di sana ada banyak hal dapat diketahui. Begitu juga dengan pengetahuan, di alam fisika maupun alam sosial, sarat akan benih-benih yang bisa di- jadikan basis pengetahuan. Untuk mengkaji kebenaran sebagai ilmu pengetahuan, adalah logika yang melatari. Bagian ketujuh buku ini mengulas paradigma di dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang terbagi menjadi dua belahan, yaitu ilmu alam dan ilmu sosial, di mana kedua- nya memiliki prinsip dan metode sendiri dalam menggali dan menentukan sebagai apa yang disebut dengan ilmu pengeta- huan yang mengandung kebenaran sejati. Metode tersebut membawa kita dalam penelitian yang dikenal dengan kualitatif dan kuantitatif. Sebagai landasan filosofis terhadap peneliti- an ilmiah, filsafat ilmu dalam membahas paradigma ini men- dudukkan gagasan dasar mengenai apa yang melatari kedua metode penelitian tersebut muncul. Paradigma dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan paradigma positivisme, sebagai landasan di mana penelitian kuantitatif muncul dalam menyu- sun dan mengonstruksi suatu ilmu pengetahuan. Sementara paradigma post-positivisme, sebagai anti-tesa dari positivisme menjadi landasan di mana metode kualitatif di dalam peneli- tian ilmiah dilakukan. Perdebatan ini sungguh sangat menga- syikkan untuk ditelaah, bukan saja dalam rangka menentukan posisi seorang ilmuwan atau peneliti dalam menyusun penge- tahuan, tetapi juga sebagai sumber wacana pengetahuan di da- lam membangun kerangka berpikir ilmiah yang kerap berjalan secara dialektis. Ilmu pengetahuan memiliki kehendak dasar untuk me- nentukan kebenaran yang bisa dijadikan sebagai pedoman. Kehendak dasar tersebut meletakkan susunan kerangka agar ilmu pengetahuan diperoleh melalui prosedur dan prinsip yang ketat sebagaimana tertuang dalam sketsa gagasan positi- visme, di mana kebenaran harus dapat diukur dan dibuktikan secara empiris. Namun pada bagian kedelapan buku ini meng- ulas kehidupan kita yang tidak selamanya dapat direduksi pada pengalaman empiris, menghadirkan semacam gejala yang ti- dak “mengenakkan” di kalangan agamawan. Agama dan Tuhan sungguh tidak dapat direduksi kepada pengalaman empiris. Ia bersifat transendental