KEHIDUPAN EKONOMI PENDUDUK DALAM SETIAP PERIODISASI SEJARAH JAMBI
Main Author: | KARMELA, Siti HEIDI |
---|---|
Other Authors: | Jurnal Dikdaya |
Format: | Article info eJournal |
Terbitan: |
Universitas Batanghari
, 2015
|
Online Access: |
http://journal.unbari.ac.id/index.php/JIP/article/view/108 http://journal.unbari.ac.id/index.php/JIP/article/downloadSuppFile/108/22 |
Daftar Isi:
- SITI HEIDI KARMELA* Abstract: One of the discussion in the history of economics is to describe the economic life of the population in certain localities ranging from economic activities, the purpose of economic activities, as well as the economic system that lived in each period of history that has been passed, so that shows a dynamic process in it. It is supposed to see the change and development of economic life of population ranging from the period of the empire, colonial, until independence period which is a continuation and continuity between historical periods. The spatial area for this research is Jambi city in terms of administrative regions, covering areas across Jambi (i.e sekoja) and Jambi city (i.e the capital) as well as the geographic condition of those two areas whether the differences, the similarities, and their roles. It is intended to determine the characteristics and uniqueness of Jambi economy that can contribute to the writing of economic history at the national level, and a reference study of economic history at the local level. Keywords: Economic history, Kota Jambi, Jambi Seberang, Jambi Kota, resident. EKONOMI JAMBI PERIODE KESULTANAN Sistem ekonomi pada periode kesultanan masih bersifat subsistensi,[1] konsumtif, dan alami, yang mencerminkan ekonomi tradisional, baik dari segi teknis (alat-alat yang digunakan dan cara pengolahan) maupun dari jenis usahanya. Aktivitas ekonomi masih berpusat pada sektor pertanian (termasuk perikanan dan perkebunan), pengumpulan hasil hutan, dan sektor kerajinan. Dalam ekonomi subsistensi ini, penduduk langsung menjadi produsen dan konsumen. Siti Heidi Karmela adalah dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Batanghari Aktivitas ekonomi di sektor pertanian, perikanan, pengumpulan hasil hutan dan kerajinan, menjadi mata pencaharian penting bagi penduduk yang tinggal di Jambi seberang. Dalam hal pertanian, mereka menanam jenis padi gogo di sawah kering dan sawah payo.[2] Penanaman padi berhubungan dengan makanan pokok penduduk yaitu beras,[3] baik itu penduduk yang tinggal di Jambi seberang, daerah huluan, daerah pantai Jambi, maupun daerah ibukota kesultanan (ket: terletak di daerah Jambi kota). Selain menanam padi, penduduk juga menanam tanaman palawija, umbi-umbian, sayuran, dan buah-buahan di huma (ket : ladang) baik itu huma renah, huma kasang, maupun huma talang.[4] Penanaman tanaman pertanian di sawah dan ladang masih meggunakan peralatan tradisional.[5] Penduduk juga ada yang memanfaatkan Sungai Batanghari untuk menangkap ikan ataupun membuat kolam dan keramba. Penangkapan ikan masih menggunakan peralatan sederhana yang dibuat sendiri.[6] Penduduk di Jambi seberang juga ada yang mengumpulkan hasil-hasil hutan seperti kayu (contohnya kayu bulian, kayu meranti, kayu ramelang, kayu sepang, kayu lambato), damar, bambu, getah tanaman (contohnya getah jaruang, getah balam, getah sundih, getah manau), buah-buahan (pinang dan cokelat), dan hewan buruan (contohnya rusa diambil tanduknya, gajah diambil gadingnya, lebah diambil sarangnya, dan badak darah naga).[7] Hasil hutan tersebut ada yang digunakan untuk bahan baku berbagai kerajinan termasuk batik (ket: terutama batik tulis). Mereka yang membuat kerajinan ini umumnya memiliki keahlian tertentu (ket: disebut perajin/tukang) seperti tukang kayu, tukang jahit, penenun, dan pembatik. Berbeda dengan penduduk di Jambi seberang, penduduk yang tinggal di daerah huluan lebih banyak melakukan aktivitas ekonomi di sektor perkebunan dan pendulangan emas. Tanaman perkebunan yang ditanam antara lain lada, merica, cengkeh, dan kayu manis. Sejak awal abad ke-17 M sampai awal abad ke-18 M, lada telah menjadi komoditas ekspor penting Kesultanan Jambi. Berdasarkan laporan VOC (Vereenige Oost Indische Compagnie), sultan Jambi mendapat keuntungan sebanyak 30-35% dari penjualan lada.[8] Pada periode tersebut, daerah huluan Jambi juga dikenal sebagai penyalur merica.[9] Khusus aktivitas pendulangan emas, umumnya dilakukan oleh orang Minangkabau (ket: orang batin dan orang penghulu/batin migran). Daerah huluan penghasil emas utama adalah Koto Kandis, bukti aktivitas pendulangan emas di sana dapat dilihat dari benda-benda arkeologis yang ditemukan seperti pecahan keramik dan batuan berbentuk botol yang biasa dipakai untuk menyimpan cairan merkuri sebagai salah satu bahan baku pembuatan emas. Sejak abad ke-17, Kesultanan Jambi sudah melakukan perdagangan atas biji emas sampai ke Eropa.[10] Semua hasil pertanian, perikanan, perkebunan, hasil hutan, kerajinan, dan emas menjadi komoditas ekspor Kesultanan Jambi yang dijual sampai ke Malaka dan Singapura (ket: setelah tahun 1819), dan Eropa melalui Pelabuhan Jambi. Komoditas ekspor tersebut ditukar oleh sultan-sultan Jambi dengan beras, garam, kain/tekstil, dan perkakas dari logam dan besi.[11] Khusus untuk kain sutera dan mori, dibeli langsung dari pedagang Eropa/Belanda dan Cina untuk membuat tenun ikat, sulam benang emas, dan kain bermotif bunga (ket: disebut juga batik).[12] Oleh karena itu, perdagangan menjadi satu-satunya aktivitas penduduk yang tinggal di daerah ibukota kesultanan (ket: Jambi kota). Kegiatan perdagangan ekspor-impor tersebut melibatkan sultan dan bangsawan, serta pedagang lokal (dari huluan), pedagang Nusantara lainnya, serta pedagang asing. Memasuki awal abad ke-20, sistem ekonomi subsistensi berganti menjadi sistem ekonomi komersial.[13] Penduduk mulai mengenal dan menanam karet setelah pemerintah Hindia Belanda mewajibkan penanaman karet di beberapa afdeeling dan onderfdeeling di Keresidenan Jambi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat Eropa akan karet.[14] Karet menjadi tanaman komersial penting satu-satunya di Keresidenan Jambi sampai periode kolonial akhir.[15] Selama dasawarsa 1920-an, Jambi menjadi produsen karet rakyat terbesar di Hindia Belanda, dilihat dari jumlah pohon karet yang ditanam.[16] Kebun karet pertama dibuka tahun 1904 di dekat ibukota keresidenan, yaitu di Afeeling Muara Tembesi. Pada periode selanjutnya (tahun 1900-1914), Muara Tembesi menjadi salah satu afdeeling penghasil karet terbesar di Keresidenan Jambi.[17] Karet ditanam di tanah milik dusun berupa kompleks perkebunan yang terbentang ke selatan sepanjang 6 km dan ke arah timur sepanjang 12 km.[18] Kebun karet milik pemerintah Hindia Belanda juga dibuka di Afdeeling Sarolangun, Bangko, Bungo, Jambi, dan Kerinci tahun 1907-1912.[19] Tidak hanya milik pemerintah, penduduk juga membuka kebun karet sendiri, umumnya pendatang (Minangkabau, Palembang, Bengkulu) dan orang asing khususnya orang Cina. Sistem tanaman karet rakyat ini mulai intensif dilakukan sejak tahun 1912, meskipun yang ditanam tidak lebih dari 300 pohon karet.[20] Jenis karet yang ditanam adalah ficus elastica dan hevea brasilliensis. Jenis hevea banyak ditanam karena cocok dengan iklim dan kondisi tanah sebagian besar wilayah Indonesia kolonial,[21] termasuk juga di Jambi. Orang Jambi bahkan diperkirakan telah menanam pohon hevea sejak tahun 1904 atau tahun-tahun awal abad ke-20.[22] Pemerintah Hindia Belanda juga menganjurkan penanaman tanaman perkebunan lainnya seperti kopi dan tembakau di Afdeeling Kerinci, Sarolangun, Tebo, dan Bangko yang hasilnya dijual sampai ke luar negeri. Jenis kopi yang banyak ditanam adalah jenis robusta yang didatangkan langsung dari Padang.[23] Jenis tanaman perkebunan lainnya adalah pala, cengkeh, dan kayu tembesu.[24] Ekonomi keresidenan Jambi juga didukung dari hasil tambang seperti minyak bumi dan emas. Sebenarnya penemuan minyak bumi pertama kali terjadi tahun 1880-an, dan pernah mengalami oil boom tahun 1890-an.[25] Meskipun begitu, eksplorasi minyak besar-besaran baru dilakukan tahun 1923 sampai tahun 1930 dengan ladang minyak utama terdapat di Bajubang, Kenali Asam, dan Tempino dengan proses penyulingan dilakukan di Plaju, Palembang.[26] Sementara itu tambang emas ditemukan di Afdeeling Sarolangun, tepatnya di Sungai Penuh dan Batang Asai.[27] Sama halnya dimasa kesultanan, tambang emas juga dimiliki orang-orang yang berasal dari Minangkabau. Khusus di daerah ibukota keresidenan, terdapat tanaman perkebunan seperti karet milik orang Cina (ket: para toke). Sementara itu orang Melayu Jambi banyak menanam kopi, kelapa, pinang, manggis, kayu jelutung dan bunga bakung di kebun atau talang (ket: sejenis rawa) yang berada cukup jauh dari pemukiman atau tempat tinggal mereka.[28] Tanaman kelapa diolah untuk menghasilkan kopra dan kelapa buku, daun bunga bakung untuk atap rumah, buah manggis untuk dikonsumsi, bahan campuran minuman keras, dan sebagai bahan pewarna alami produk kerajinan sandang seperti batik. Sementara itu penduduk yang tinggal di Jambi seberang dan daerah Tungkal lebih banyak menanam berbagai jenis rotan seperti rotan sego putih, sego air, rumbai, rotan bambu, dan rotan semambu.[29] Semua hasil perkebunan, hasil tambang, hasil kebun, dan produk kerajinan juga diekspor ke luar keresidenan. Pemerintah Hindia Belanda bahkan membangun permanen Pelabuhan Jambi tahun 1926 seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan ekspor khususnya karet dan mulai padatnya pemukiman penduduk di sekitar pelabuhan. Pembangunan permanen Pelabuhan Jambi dilakukan dengan cara menimbun daerah rawa-rawa di sekitar pelabuhan yang selalu digenangi air (ket: lokasinya disebut tanah timbun). Pelabuhan Jambi juga dibangun bertingkat dua agar tidak mengganggu aktivitas pelayaran dan bongkar muat barang saat air Sungai Batanghari sedang pasang dan dapat menampung kapal-kapal skala besar milik pedagang asing.[30] Sektor pertanian tetap mendominasi perekonomian Kota Jambi sampai periode 1970-an. Sejak repelita pertama, kebijakan ekonomi Pemerintah Orde Baru menitikberatkan pada sektor pertanian sebagai pilar utama perekonomian Indonesia khususnya produksi pangan.[31] Swasembada pangan menjadi tujuan akhir pembangunan ekonomi untuk memajukan kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat Indonesia.[32] Sektor pertanian mulai bergeser ke sektor non-pertanian pada periode 1980-an. Untuk memenuhi kebutuhan beras di Kota Jambi, pemerintah daerah terpaksa mendatangkannya dari Daerah Tingkat II yaitu Tanjung Jabung dan Kerinci.[33] Memasuki periode tahun 1990, ekonomi Kota Jambi telah didominasi sektor tersier lihat Tabel. 1 berikut : Tabel.1 Distribusi Persentase Aktivitas Ekonomi Penduduk Di Kota Jambi Sejak Tahun 1990-an No Sektor Ekonomi Persentase (%) 1 Perdagangan, hotel, restoran 21,95 % 2 Industri 18,97 % 3 Transportasi/ Pengangkutan 18,90 % 4 Jasa 15,78 % 5 Keuangan 7.91 % 6 Pertambangan dan penggalian 7,82 % 7 Bangunan 4,17 % 8 Pertanian 2,58 % 9 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1,93 % Jumlah 100 % Sumber : Biro Pusat Statistik Kota Jambi Tahun 1990-2000, ditambah dari http://www.kotajambi.go.id. Berdasarkan Tabel di atas, penduduk Kota Jambi lebih banyak terlibat dalam aktivitas perdagangan, industri dan transportasi/pengangkutan. Sementara itu aktivitas pertanian termasuk perikanan dan perkebunan, tidak lagi menjadi sektor primer. Aktivitas perdagangan berkembang pesat karena letak strategis Kota Jambi (ket: khususnya daerah ibukota di Jambi kota) di antara kota-kota lain di Pulau Sumatera, yaitu Riau, Padang, Palembang, dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan yag memungkinkan berkembangnya perdagangan lokal. Selain itu, Kota Jambi juga dimungkinkan menjadi simpul perdagangan regional antara Batam, Singapura, dan Johor. Bahkan dimasa depan, Kota Jambi sangat berperan dalam kerjasama ekonomi regional Indonesia, Malaysia dan Singapura Growth Triangle (IMS-GT).[34] Aktivitas perdagangan ini juga didukung dengan masih berperannya Pelabuhan Jambi, meskipun pada tahun 1995 dipindahkan ke Kecamatan Mara Sebo Kabupaten Muaro Jambi yang berjarak 20 km dari ibukota.[35] Pelabuhan Jambi kemudian berganti nama menjadi Pelabuhan Talang Duku, dan berfungsi sebagai pelabuhan samudera yang melakukan kegiatan bongkar, muat, ekspor, dan impor barang.[36] Untuk mendukung aktivitas perdagangan lokal, pemerintah daerah membangun sarana infrastruktur seperti pasar, pertokoan, dan shooping center/mall selama periode 1980-an sampai 1990-an. Beberapa pasar yang sudah dibangun antara lain; Pasar Angso Duo dan Pasar Lopak di Kecamatan Jambi Pasar, Pasar Talang Banjar di Kecamatan Jambi Timur, Pasar Inpres TAC di Kecamatan Telanaipura, dan Pasar Inpres Kebon Handil di Kecamatan Kota Baru. Bangunan pertokoan di kawasan pasar lama sudah dibangun permanen dan lebih teratur dari segi tata ruangnya. Beberapa penduduk bahkan mendirikan bangunan tempat tinggal bertingkat (ket: disebut ruko/rumah toko) di sekitar pertokoan. Barang yang dijual semakin beragam seiring dengan kebutuhan penduduk yang terus meningkat, mulai dari barang sandang (bahan/dasar kain dan pakaian jadi), barang pecah belah, barang elektronik, perhiasan, dan lain-lain. Sementara itu, pembangunan shooping center/mall melibatkan investor / pihak swasta. Beberapa shooping center/mall yang dibangun antara lain Matahari Mall, Dinza Plaza, WTC (World Trade Center), Ramayana, Meranti Mall, JPM (Jambi Prima Mall), Trona (Tropi Nasional Mall), dan Jamtos (Jambi Town Square).[37] Maraknya pembagunan sarana fisik untuk perdagangan lokal menandakan bahwa daerah Jambi kota tetap menjadi pusat perekonomian penduduk. Sektor tersier pendukung ekonomi Kota Jambi berikutnya adalah sektor industri, mulai dari industri skala besar dan menengah sampai industri kecil dan rumah tangga. Untuk mengembangkan sektor industri, pemerintah daerah memberikan kewenangan pada beberapa instansi terkait, yaitu Dinas Perindustrian, Dinas Pariwisata, Dewan Kerajinan Nasional Daerah, ditambah dengan Tim Penggerak PKK (provinsi/kota) sebagai mitra pemerintah. Pengembangan sektor industri di Kota Jambi dilakukan seiring dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat pada sektor industri sejak tahun 1974-1975. Pemerintah pusat menghendaki agar pemerintah daerah (provinsi/kota/kabupaten) memajukan sektor industri karena semua jenis industri memiliki kontribusi masing-masing yang mendukung ekonomi daerah yang bersangkutan maupun ekonomi nasional. Industri besar dan menengah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah barang/jasa yang diproduksi, sedangkan industri kecil dan rumah tangga dapat menciptakan kesempatan kerja, menyerap lebih banyak tenaga kerja, dan menghapus kemiskinan.[38] Industri besar dan menengah yang ada di Kota Jambi tersebar di daerah Jambi kota dan di Jambi seberang. Di daerah Jambi kota terdapat perusahaan yang bergerak di industri pengolahan karet (seperti PT. Hoktong dan PT. Remco), industri kertas (pulp dan paper), industri perlengkapan kendaraan bermotor (spare part), industri mesin tekstil, dan industri pengolahan kopi (ket: Kopi AAA Jambi). Sementara itu, di Jambi seberang ada industri pembuatan perahu ketek dan speed boat di Kelurahan Arab-Melayu dan Takhtul Yaman, industri perkayuan (plywood) dan pengolahan karet di Kelurahan Tanjung Johor. Khusus untuk industri kecil, terbagi atas dua cabang industri yaitu industri hasil pertanian dan kehutanan (IHPK) serta industri logam, mesin, kimia, dan aneka (ILMKA). Dari kedua cabang industri ini diklasifikasikan lagi menjadi tiga kelompok yaitu; a. industri kecil formal (memiliki tanda daftar industri), b. industri kecil non-formal (tidak memiliki tanda daftar industri), c. industri kecil non-formal/sentra (tidak memiliki tanda daftar industri yang tergabung dalam kelompok usaha bersama). Mengenai jenis-jenis industri kecil di Kota Jambi, dapat dilihat pada Tabel.2 berikut : Tabel. 2 Jenis Industri Kecil di Kota Jambi IHPK ILMKA Industri makanan kecil (pembuatan tempe, kerupuk ikan, kerupuk ubi, dodol nenas) Industri kerajinan sandang (batik, sulaman, bordir, tenun ikat/songket) Industri minuman (pembuatan limun dan air tapai) Industri pakaian jadi Industri pengolahan tembakau dan bumbu rokok Industri perhiasan (bros baju, cincin, kalung dari sisik ikan, emas, dan permata) Industri bambu, rotan, dan sejenisnya Industri barang dari plastic Industri perabotan dan alat-alat rumah tangga Industri percetakan lilin Industri percetakan dan penerbitan Industri alat angkut Industri kerajinan kayu Industri pengolahan tanah liat dan gerabah Industri barang dari karet Industri barang dari semen dan kapur Industri jasa Industri perbaikan dynamo Industri logam/bukan logam mulia Industri logam dasar bukan besi Industri bengkel mobil Industri Kimia Sumber: Dinas Perindustrian Kota Jambi Industri kecil di Kota Jambi semakin memiliki prospek cerah periode 1990-an. Hal ini dibuktikan dengan semakin berpihaknya pemerintah daerah pada sektor ini, terutama setelah industri kecil memperlihatkan daya tahannya saat terjadi krisis moneter tahun 1998. Bertahannya industri kecil dari krisis dikarenakan jenis industrinya yang masih bersifat transisi, tidak membutuhkan modal besar, dan dapat dilakukan dengan pemasaran terbatas.[39] Sebaliknya sebagian industri besar dan industri menengah di Kota Jambi mengalami kemunduran akibat krisis tersebut. Contohnya pabrik-pabrik pengolahan karet dan kayu yang tidak dapat meneruskan kegiatan produksi dan pemasaran/penjualan karena kekurangan bahan baku dan penurunan kualitas produk yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA Koleksi Arsip Jakarta Ondernening Batanghari, Bennelandsch Bestuur, no: 2067, 1916. Dokumen Resmi Tercetak Zevende Jaargang, Tijdschrifs voor Economische Geographie, Sgravenhage-Mouton, Co., 1916. Encyclopaedia van Nederlandsch-Indie Jilid I , Gravenhage Matrinus Nijhaff. Tideman, J., Djambi, Amsterdam: De Bussy, 1938. Mandelaar, J.J., “Djambi de rubber en de Djambier”, Koloniale Studien jrg.9. No. 6., Weltevreden: Landsdrukkerij, 1925. Buku A.M. Nasruddin, Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949 Masehi, Jambi: tanpa penerbit, 1990 Andaya, Watson, “Cash Cropping and Upstream-Downstream Tensions: The Case of Jambi in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”, Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief, ed., Anthony Reid, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1993. Bambang Purwanto, “Karet Rakyat Indonesia Tahun 1890-an sampai 1940”, dalam Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Thomas Linblad, ed., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Booth, Anne, “Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan”, dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001. Irsan Azhary Saleh, Industri Kecil: Sebuah Tinjauan dan Perbandingan, Jakarta: LP3ES, 1986. Marsden, William, The History of Sumatra, Kuala Lumpur: Longmann, 1966. Monografi Daerah Jambi Jilid I, Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi, 1978. Nuryuwono, Transportasi Sungai dan Saluran, Yogyakarta: Fakultas Teknik UGM, 1994. Refleksi 50 Tahun Pembangunan Provinsi Jambi, Bappeda Provinsi Jambi bekerjasama dengan BPS Provinsi Jambi, 2007. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I, Jakarta: Gramedia, 1987. Scrieke, B.J.O., Indonesia Sociological Studies, 2n edition, Bandung: Sumur Bandung, 1960. Scholten, Elsbeth Locher, Jambi Batavia 1830-1907 dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Jakarta: Banana, KITLV-Jakarta, 2008. Wolf, Eric R., Petani: Suatu Tinjauan Antropologis, Jakarta: Rajawali Press, 1995. Tesis dan Disertasi Bambang Purwanto, From Dusun to the Market Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra 1890-1940, Tesis Ph.D, London: University of London, 1992. Budihardjo, Perkembangan Ekonomi dan Pengarunya Terhadap Kehidupan Masyarakat Daerah Jambi 1926-1942, Tesis, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana, UGM, 2001. Lindayanti, Perkebunan Karet Rakyat di Jambi Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1906-1940, Tesis, Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1993. Majalah, Bulletin, Jurnal, dan Surat Kabar Jang A. Muttalib, “Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan Sosial di Jambi Pada Perempatan Abad Ke-20”, Prisma, No. II, September, 1984. M.D. Rahardjo, “Kaitan Antara Industri Besar dan Industri Kecil”, Prisma, Jakarta: LP3ES, 1976. Sumber Lain “Pelabuhan Boom Batu Jambi”, diambil dari http://www.Inaport2.co.id. [1]Ekonomi subsitensi adalah aktivitas ekonomi yang menetapkan tujuan akhirnya untuk memenuhi anggaran konsumsi yang diperlukan, tanpa memperhitungkan nilai selisih (laba) antara biaya produksi dan penghasilan total yang diperoleh; lihat Eric R. Wolf, Petani: Suatu Tinjauan Antropologis (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. 22. [2]Sawah kering dibuka dengan cara menebas, menenun (menanduk), menugal atau menanam biji, sedangkan sawah payo disebut “sawah kincir” karena airnya ditimba dari sesuai dengan potongan bambu untuk menyalurkan air; dalam Monografi Daerah Jambi Jilid I (Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi, 1978), hlm. 36. [3]Zevende Jaargang, Tijdschrifs voor Economische Geographie, Sgravenhage-Mouton. Co., 1916, hlm. 502. [4]Huma renah merupakan ladang yang dibuka di dataran rendah (biasa ditanami jagung, cabe, dan sayuran), huma kasang terletak di dataran agak tinggi (biasa ditanami pisang dan ubi), huma talang yaitu ladang di dataran tinggi (tanaman yang ditanam seperti tanaman perdu dan bibit karet) [5]Alat pertanian yang digunakan antara lain cangkul, parang, sabit, beliung, jangki, kedipan. [6]Alat yang digunakan antara lain sampan/perahu, pancing, jala, tangkul, serampang, lukah belut, lukah ikan. [7]Beberapa peralatan yang digunakan antara lain perangkap (ket; jerat), tombak, panah, pisau, dan senjata tajam lainnya; dalam Monografi Daerah Jambi Jilid 1, op.cit. [8]Watson Andaya, Andaya, Watson, “Cash Cropping and Upstream-Downstream Tensions: The Case of Jambi in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”, Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief, ed., Anthony Reid, Ithaca ( N.Y.: Cornell University Press, 1993), hlm. 9. [9]B.J.O. Scrieke, Indonesia Sociolgical Studies, 2n edition (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hlm. 55. [10]William Marsden, The History Of Sumatra (Kuala Lumpur: Longmann, 1966), hlm. 358. [11]Elsbeth Locher Scholten, Kesultanan Sumatera Dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia 1830-1907 Dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (Jakarta: Banana, KITLV-Jakarta, 2008), hlm. 41 [12]A.M. Nasruddin, Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949 Masehi (Jambi: tanpa penerbit, 1990), hlm.122. [13]Ekonomi komersial adalah aktivitas ekonomi yang menetapkan tujuan akhirnya untuk memperoleh keuntungan (laba) yang dihitung dengan cara mengurangi penghasilan total dengan semua biaya produksi; lihat Eric R. Wolf, op.cit., hlm. 22. [14]Pada awal abad ke-20, karet menjadi primadona ekspor di Eropa menggantikan tanaman perkebunan lainnya, seperti kopi, kopra, lada dan tembakau yang mulai menurun akhir abad ke-19; lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 326-328. [15]Bambang Purwanto, “Karet Rakyat Indonesia Tahun 1890-an Sampai 1940”, dalam Thomas Linblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 207. [16]Economisch-Statistische Berichten, 1927 tweede half jaar, hlm. 811. [17]Onderneming Batanghari, Bennelandsche Bestuur, No. 2067, 1916; lihat juga Jang A. Muttalib, “Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan Sosial Di Jambi Pada Perempatan Pertama Abad Ke-20”, Prisma, No. 8, Agustus, 1980, hlm. 29. [18]Penanaman karet dimotori oleh Residen O.L. Helfrich; dalam J.J. Mandelaar, “Djambi, de Rubber en de Djambier”, Koloniale Studien jrg.9 No. 6 (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1925), hlm. 328-331. [19]A.L. Samson, ”Een en ander over de bevolking rubbercultur in de Afdeeling Moera Boengo van de Residentie Djambi”, dalam Tijdschrift voor het Binnelandsch Bestuur (Batavia: G. Kolff & Co, 1913), hlm. 292. [20]Jang A. Muttalib, op.cit., hlm. 30. [21]Bambang Purwanto, From Dusun to Market Native Rubber Cultivation In Southern Sumatra 1890-1940, Tesis Ph.d. (London: University of London, 1992), hlm. 116-124. [22]Ibid., hlm. 184-189. [23]Budihardjo, Perkembangan Ekonomi Dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Masyarakat Daerah Jambi 1926-1942, Tesis (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM, 2001), hlm. 83-84. [24]Lindayanti, Perkebunan Karet Di Jambi Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1906-1940, Tesis (Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1993), hlm. 33; kayu tembesu digunakan sebagai bahan baku untuk membuat perabot rumah tangga seperti pintu, daun jendela, dan kursi; Kayu Tembesu sama jenisnya dengan Kayu Jati yang ada di Jawa. [25]Elsbeth Locher Scholten, “Berdirinya Kekuasaan Kolonial Di Jambi Partai Ganda Politik Dan Ekonomi” dalam Thomas Linblad, op.cit., hlm. 165. [26]Ibid., hlm. 171; dimasa keresidenan, Bajubang, Kenali Asam, dan Tempino menjadi bagian dari Onderafdeeling Batanghari, sedangkan di masa kemerdekaan, Onderneming Batanghari sudah menjadi daerah kabupaten sendiri. saat ini tambang minyak juga terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Muara Sabak tepatnya di Kecamatan Geragai yang dikelola perusahaan Petrochina. [27]J. Tideman, Djambi (Amsterdam: De Bussy, 1938, hlm. 59. [28]Di daerah Jambi kota terdapat penamaan daerah yang diambil dari aktivitas ekonomi rakyat sejak periode Hindia Belanda, seperti Kebun Kopi di Kecamatan Kota Baru, Kebun Kelapa di Kecamatan Jambi Selatan, Tanjung Pinang di Kecamatan Jambi Timur, Kampung Manggis di Kecamatan Jambi Pasar, Talang Bakung di Kecamatan Jambi Selatan, dan Jelutung di Kecamatan Jelutung. [29]Budihardjo, op.cit. [30]Nur Yuwono, Transportasi Sungai Dan Saluran (Yogyakarta: Fakultas Teknik UGM,1999); dimasa itu kapal yang berlabuh di Pelabuhan Jambi antara lain kapal besar (peniche, kampenaar, gustav koeming), tongkang, kapal penumpang, dan kapal barang. [31]Anne Booth dan Peter Mc. Cawley, “Perekonomian Indonesia Sejak Pertengahan Tahun Enam Puluhan”, dalam Anne Booth dan Peter Mc. Cawley (ed.), Ekonomi Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 3; sejak tahun 1969-1979 (Repelita I dan Repelita II) perhatian pemerintah dalam kebijakan pangan dipusatkan pada tercapainya kenaikan produksi beras lewat pelaksanaan program-program tertentu, seperti Bimas (bimbingan massal). [32]M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 433. [33]Berdasarkan laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, Tanjung Jabung dan Kerinci adalah kabupaten yang paling banyak memproduksi beras pada tahun 1981 dengan rincian: Tanjung Jabung memproduksi beras sebanyak 255.920 ton dan produksi beras di Kerinci sebanyak 85.628 ton, sedangkan Kota Jambi hanya memproduksi beras sebanyak 7.085 ton; dalam Jambi Dalam Angka (Jambi: BPS Provinsi Jambi, 1981), hlm. 163-164. [34]“Selayang Pandang Kota Jambi”, Laporan Kunjungan Kerja Komisi C DPRD Kota Jambi, Bogor, 3-8 April 2006, hlm.1. [35]Pemindahan tersebut dikarenakan semakin padatnya pemukiman penduduk dan bangunan pertokoan di sekitar lokasi lama Pelabuhan Jambi, sehingga tidak dimungkinkan lagi untuk kegiatan pelayaran dan perdagangan. [36]Pelabuhan Talang Duku berada di bawah naungan PT Pelabuhan Indonesia II Cabang Jambi, dilengkapi dengan dermaga apung untuk mengatasi beda permukaan air sungai saat musim hujan dan kemarau. fasilitas utamanya adalah lahan yang luas dan dermaga yang panjang sehingga bisa menampung berbagai jenis kapal barang dengan berbagai ukuran, sedangkan fasilitas pendukung antara lain lapangan peti kemas, lapangan penumpukan barang dan gudang serta alat-alat mekanis (seperti diesel forklift, chasis, head truck, transtainer); diambil dari http://www.inaport2.co.id. [37]Shooping center/mall ini tidak hanya menjadi pusat perbelanjaan, melainkan juga menjadi tempat hiburan/rekreasi keluarga. [38]Peter Mc. Cawley, “Pertumbuhan Sektor Industri” dalam Anne Booth dan Peter Mc. Cawley (ed.), op.cit., hlm. 87. [39]Refleksi 50 Tahun Pembangunan Provinsi Jambi, (Bappeda Provinsi Jambi bekerjasama dengan BPS Provinsi Jambi, 2007), hlm. 119-120.