POLA KORUPSI KEPALA DAERAH DI PROVINSI LAMPUNG (Studi Kasus Operasi Tangkap Tangan 4 Kepala Daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2018-2019)
| Main Author: | ADE NUGROHO, 1416021002 |
|---|---|
| Format: | Bachelors NonPeerReviewed Book Report |
| Terbitan: |
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
, 2020
|
| Subjects: | |
| Online Access: |
http://digilib.unila.ac.id/65806/1/ABSTRAK.pdf http://digilib.unila.ac.id/65806/2/SKRIPSI%20FULL.pdf http://digilib.unila.ac.id/65806/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf http://digilib.unila.ac.id/65806/ |
Daftar Isi:
- Sejak bergulirnya pilkada secara langsung pada tahun 2005, frekuensi pilkada di Indonesia mengalami peningkatan yang pesat. Jumlah pilkada yang telah dilaksanakan secara langsung memunculkan fenomena kian merebaknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) di mana sektor keuangan daerah menjadi penyumbang potensi kerugian negara terbesar akibat kasus korupsi yang terjadi dalam semester pertama tahun 2018, sekitar Rp 569 miliar, dari total Rp 1,09 triliun kerugian negara akibat korupsi. Temuan ini paralel dengan data Kemendagri, yang sampai bulan Oktober 2018 tercatat 434 orang yang merupakan gubernur, bupati, dan walikota yang tersandung masalah hukum baik di kejaksaan, polisi, KPK berkaitan soal anggaran. Provinsi Lampung sendiri tercatat ada 8 kepala daerah yang pernah melakukan tindak pidana korupsi, 4 diantaranya dengan cara melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Zainuddin Hassan, Mustafa, Khamami dan Agung Ilmu Mangkunegara. Metode penelitian yang dipakai adalah kualitatif analisis dengan pengambilan data melalui wawancara mendalam dan dokumentasi. Hasil penelitian dianalisis menggunakan teori korupsi dari Klitgaard, Cressey, dan Agustino untuk melihat faktor apa saja yang dominan yang menyebabkan kepala daerah berperilaku korup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola korupsi yang dikemukakan oleh Agustino yaitu menjual pengaruh/kekuasaan merupakan faktor yang paling dominan yang menjadikan 4 Kepala Daerah di Lampung yang ter OTT KPK berperilaku korup yaitu dengan adanya kesepakatan antara Kepala Daerah dengan Kepala Dinas terkait jatah setoran/besaran komitmen fee yang dibebankan kepada rekanan yang akan diploting proyek untuk disetorkan kepada Kepala Daerah melalui Kepala Dinas, sebesar 20% untuk pekerjaan Fisik dan sekitar 30 % untuk pekerjaan non fisik. Kata Kunci : Korupsi, Kepala Daerah, Pilkada Since the direct election of the elections in 2005, the frequency of regional elections in Indonesia has increased rapidly. The number of direct elections for regional heads of regions has led to the phenomenon of widespread corruption by regional heads. The finding of the Indonesia Corruption Watch (ICW) in which the regional financial sector is the largest contributor to potential state losses due to corruption cases that occurred in the first semester of 2018, around IDR 569 billion out of IDR 1.09 trillion in total state losses due to corruption. This finding is parallel to data from the Ministry of Home Affairs, which until October 2018 recorded 434 people who were governors, regents and mayors stumbling over legal problems, whether at the prosecutor's office, the police or the KPK regarding budget issues. Lampung Province itself has recorded 8 regional heads who have committed criminal acts of corruption, four of them through Sting Operation (OTT) by the Corruption Eradication Commission (KPK), namely Zainuddin Hassan, Mustafa, Khamami and Agung Ilmu Mangkunegara. The research method used is a qualitative analysis by collecting data through in-depth interviews and documentation. The results of the study were analyzed using the theory of corruption from Klitgaard, Cressey, and Agustino to see what factors were dominant which caused regional heads to behave in a corrupt manner. The results showed that the corruption pattern put forward by Agustino, namely selling influence / power was the most dominant factor that made the four of Regional Heads in Lampung who were OTT KPK behave corrupt, namely by the agreement between the Regional Heads and the Service Office Heads regarding the allowance / fee commitment amount, which is charged to the partner who will be plotted for the project to be deposited with the Regional Head through the Service Office Heads. 20% for physical work and around 30% for non-physical work. Keywords : Corruption, Regional Head, Local Election