DAMPAK DEGRADASI LAHAN DAS SEKAMPUNG HULU TERHADAP KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI DI DAS SEKAMPUNG HILIR PROVINSI LAMPUNG
| Main Author: | ROBET ASNAWI, 1434171007 |
|---|---|
| Format: | Desertasi NonPeerReviewed Book Report |
| Terbitan: |
PROGRAM DOKTOR ILMU PERTANIAN
, 2020
|
| Subjects: | |
| Online Access: |
http://digilib.unila.ac.id/64876/1/ABSTRAK.pdf http://digilib.unila.ac.id/64876/2/DESERTASI%20FULL.pdf http://digilib.unila.ac.id/64876/3/DESERTASI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf http://digilib.unila.ac.id/64876/ |
Daftar Isi:
- Degradasi lahan yang terjadi akibat perambahan hutan dan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang tidak menerapkan kaidah konservasi. Kegiatan tersebut menyebabkan hilangnya tutupan lahan dan tingginya air limpasan (air permukaan) dan erosi. Dampak selanjutnya adalah terjadinya sedimentasi pada DAS Sekampung, sungai, dan saluran irigasi sehingga mengurangi debit dan volume air irigasi pada musim kemarau dan terjadi bencana banjir pada musim hujan. Dampak yang ditimbulkan dari rangkaian proses tersebut adalah gangguan terhadap kegiatan usahatani padi dan tanaman pangan di hilir DAS Sekampung. Erosi yang terjadi di DAS Sekampung hulu rata-rata sebesar 67.5 ton.ha-1tahun-1 melebihi erosi yang dapat ditoleransi 38.7 ton.ha-1tahun-1 sehingga menyebabkan penurunan debit rata-rata minimal sungai Sekampung yang pada gilirannya mengurangi pasokan volume air untuk kebutuhan irigasi di wilayah DAS Sekampung hilir. Ancaman produksi pangan akibat kekurangan air sebagai dampak degradasi lahan, belum adanya strategi adaptasi mengatasi kekurangan air, serta belum adanya kontribusi pendanaan dari pengguna jasa untuk perbaikan lingkungan di hulu DAS Sekampung merupakan permasalahan yang harus dijawab dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengkaji dampak degradasi lahan di DAS Sekampung hulu terhadap keberlanjutan usahatani padi di DAS Sekampung hilir; 2) Menganalisis strategi adaptasi mengatasi kekurangan air irigasi untuk keberlanjutan usahatani padi di DAS Sekampung hilir; dan 3) Menganalisis kesediaan petani membayar jasa air untuk keberlanjutan usahatani padi di DAS Sekampung hilir. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah, Kecamatan Trimurjo (Desa Simbaringin, Desa Purwodadi, dan Desa Tempuran) dan Kabupaten Lampung Timur, Kecamatan Sekampung (Desa Sukoharjo, Desa Wonokarto, Desa Giri Klopomulyo, dan Desa Jadimulyo) mulai bulan Juli sampai Oktober 2017. Perhitungan laju erosi dilakukan di DAS Sekampung mulai dari Bendungan Batutegi (Kabupaten Tanggamus) sampai Bendungan Agroguruh (Kabupaten Lampung Selatan). Penentuan lokasi pengumpulan data primer dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa kedua kecamatan tersebut merupakan sentra tanaman padi di Lampung yang memanfaatkan air irigasi yang berasal dari DAS Sekampung. Penelitian ini menggunakan metode survei. Penentuan sampling responden dilakukan secara stratified random sampling berdasarkan luas kepemilikan lahan yakni < 0.25 ha, 0.25-0.5 ha, dan > 0.5 ha, dengan total petani responden 200 orang. Untuk melihat dampak erosi, sedimentasi, dan fluktuasi debit sungai terhadap produksi padi digunakan analisis regresi. Untuk menentukan variabel kunci keberlanjutan digunakan prospektif analysis Matrixs of Cross Impact Multiplication Applied to a Classification (MICMAC), untuk melihat strategi adaptasi petani menghadapi kekurangan air digunakan analisis deskriptif, kelembagaan, dan analisis ekonomi return cost ratio, serta untuk menganalisis kesediaan petani Willingness To Pay (WTP) membayar jasa air digunakan metode Contingent Valuation Method (CVM). Sedangkan untuk menentukan faktor-faktor yang memepengaruhi kesediaan petani membayar jasa air digunakan pendekatan statistik deskriptif dan analisis regresi logistik. Besarnya laju erosi diduga dengan metode USLE (E=RKLSCP) (Weischmeier dan Smith, 1978), perhitungan erosi yang ditoleransi menggunakan metode Wood and Dent (1983) dan besarnya volume muatan sedimen dihitung menggunakan metode Sediment Delivery Ratio/SDR (Boyce, 1975). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Degradasi lahan di DAS Sekampung hulu yang disebabkan oleh erosi mengakibatkan tingginya muatan sedimen dan fluktuasi debit air di sungai Way Sekampung. Dampak yang terjadi adalah berkurangnya debit air irigasi Way Sekampung dan terjadi penurunan produksi dan pendapatan petani padi di DAS Sekampung hilir. Faktor-faktor erosi di DAS Sekampung hulu yang mempengaruhi produksi padi adalah erosivitas hujan dan kelerengan. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah di DAS Sekampung hilir adalah pemupukan Urea, tenaga kerja, jarak sawah ke saluran irigasi tersier, penggunaan pupuk organik, dan musim tanam. Variabel kunci (key variable) yang berpengaruh terhadap keberlanjutan usahatani padi sawah di DAS Sekampung hilir adalah (1) ketersediaan air (debit sungai), erosi, dan kesuburan tanah; (2) Strategi adaptasi petani berupa kearifan lokal (local wisdom) pengaturan pola tanam selain mampu mengatasi kegagalan panen padi di DAS Sekampung hilir akibat kekurangan air irigasi pada MT-2, juga mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 20,06% (Rp. 6.560 juta.ha-1.th-1); dan (3) Besaran nominal kesediaan petani membayar jasa lingkungan untuk ketersediaan air irigasi adalah Rp. 127.377 ha-1.MT-1 dengan surplus konsumen sebesar Rp. 10.841 ha-1.MT-1 di Kabupaten Lampung Tengah dan Rp. 169.309 ha-1.MT-1 dengan surplus konsumen sebesar Rp. 17.121 ha-1.MT-1 di Kabupaten Lampung Timur, dengan total WTP yang dibayar petani sebesar Rp. 15,29 milyar.th-1 dengan surplus konsumen sebesar Rp. 1,54 milyar.th-1. Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan petani membayar jasa air untuk keberlanjutan ketersediaan air irigasi adalah pendidikan petani, jarak lokasi sawah ke saluran irigasi tersier, dan lokasi sawah di hilir saluran irigasi Way Sekampung. Penerapan teknologi konservasi sumberdaya alam berbasis masyarakat merupakan keniscayaan untuk keberlanjutan usahatani padi di Provinsi Lampung dan DAS Sekampung umumnya. Pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dalam satu manajemen hulu-hilir dari aspek teknis, kelembagaan, sosial, ekonomi, multisektor, dan lintas regional. Pemerintah berperan dalam pembuatan regulasi berupa Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan konservasi sumberdaya alam di DAS Sekampung lintas kabupaten/kota oleh Gubernur dan Bupati/Walikota untuk masing-masing kabupaten. Gerakan hemat air dapat dilakukan melalui penerapan teknologi irigasi terputus-putus (intermitten), penggunaan air seperlunya bagi rumah tangga dan industri. Dalam jangka panjang, pemerintah harus membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang penentuan harga air untuk keperluan irigasi, rumah tangga, industri, dan lainnya. Selain itu, perbaikan saluran irigasi primer dan sekunder melalui dana pemerintah (APBN/APBD) serta peranserta kelompok masyarakat dalam perbaikan saluran irigasi tersier. Diperlukan sumbangan dana (cost sharing) yang bersumber dari masyarakat, swasta, maupun pemerintah kabupaten/kota yang memanfaatkan air DAS Sekampung. Alternatif kelembagaan pengelola dana WTP dan sumber dana lainnya dalam bentuk cost sharing adalah model kerjasama kemitraan multipihak yang otonom terdiri dari unsur Pemerintah Provinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat, swasta dan sektor industri. Kata kunci: erosi, sedimentasi, debit air, MICMAC, adaptasi, kearifan lokal, kesediaan membayar, usahatani, berkelanjutan ABSTRACT Land degradation occurred by illegal logging and forest land conversion to agriculture without conservation principles. These activities caused a loss of land cover and high runoff (water surface) and erosion. The next impact is sedimentation at the Sekampung watershed, rivers, and irrigation channels, reducing the discharge and volume of water irrigation in dry season and floods in the rainy season. The impact of this series of processes is a disruption to rice and food crops farming activities in the downstream of Sekampung watershed. The erosion in the upstream Sekampung watershed is 67.5 tonnes.ha-1year-1, exceeding the tolerable decline of 38.7 tonnes.ha-1year-1. It causes a decrease in the minimum average discharge of the Sekampung River, which reduces the supply of water volume for irrigation in downstream Sekampung watershed. The threat of food production due to water shortages resulting from land degradation, the absence of an adaptation strategy to overcome water shortages, and the absence of funding contributions from service users for environmental improvement in the upstream Sekampung watershed were problems in this study. These objectives were to 1) examine the impact of land degradation in the upstream of Sekampung watershed on rice farming sustainability in the downstream Sekampung watershed; 2) Analyzing adaptation strategies to overcome irrigation water shortages for the rice farming sustainability in the downstream Sekampung watershed, and 3) Analyzing the willingness to pay for water services for rice farming sustainability in the downstream Sekampung watershed. This research was conducted in Central Lampung District, Trimurjo sub District (Simbaringin Village, Purwodadi Village, and Tempuran Village) and East Lampung District, Sekampung sub District (Sukoharjo Village, Wonokarto Village, Giri Klopomulyo Village, and Jadimulyo Village) from July to October 2017. The erosion rate was calculated in the Sekampung River, starting from the Batutegi Dam (Tanggamus District) to the Agroguruh Dam (South Lampung District). Determination of the location for primary data collection was carried out purposively sampling, considering that the two sub-districts are the centers of rice production in Lampung, which utilize irrigation water from the Sekampung watershed. This study used a survey method. The determination of respondent sampling was carried out by stratified random sampling based on the area of land ownership, namely <0.25 ha, 0.25-0.5 ha, and> 0.5 ha, with a total of 200 respondents. It used regression analysis to know the impact of erosion, sedimentation, and river flow fluctuations on rice production. It used a prospective analysis of the Matrix of Cross Impact Multiplication Applied to a Classification (MICMAC) to determine key variables sustainability. To know farmers' adaptation strategy in facing water shortages, it used descriptive analysis, institutional analysis, and economic analysis of return cost ratio and to analyze farmers Willingness to Pay (WTP) for water services used the Contingent Valuation Method (CVM). Meanwhile, determining the factors of effect the farmers' willingness to pay for water services used descriptive statistical approaches and logistic regression analysis. The amount of erosion rate was estimated by the USLE method (E = RKLSCP) (Weischmeier and Smith, 1978), the calculation of tolerated erosion using the Wood and Dent method (1983), and the volume of sediment loads calculated using the Sediment Delivery Ratio/SDR method (Boyce, 1975). The results showed that: (1) Land degradation in the upstream Sekampung watershed caused by erosion resulted in high sediment loads and water discharge fluctuations in the Way Sekampung watershed. The impact that occurs is a reduction in Way Sekampung irrigation discharge and a decrease in rice farmers' production and income in the downstream Sekampung watershed. Erosion factors in the upstream Sekampung watershed that affect rice production are rainfall erosivity and slope. The factors that influence lowland rice production in the downstream Sekampung watershed were urea fertilization, labor, the distance between the fields to the tertiary irrigation canals, the use of organic fertilizers, and the planting season. Key variables that affect the sustainability of lowland rice farming in the downstream of Sekampung watershed were, firstly, water availability (river discharge), erosion, and soil fertility. Secondly, farmers' adaptation strategy in the form of local wisdom, such as in cropping patterns, overcame the rice harvest's failure in the downstream of the Sekampung basin due to lack of irrigation water MT-2. It can also increase farmers' income by 20.06% (Rp. 6,560 million.ha-1.th-1); and thirdly, the nominal amount of farmers' willingness to pay for environmental services for water irrigation availability was IDR 127,377 ha-1.MT-1 with a consumer surplus of IDR 10,841 ha-1.MT-1 in Central Lampung District and IDR 169.309 ha-1.MT-1 with a consumer surplus of IDR 17,121 ha-1.MT-1 in East Lampung District has a total WTP paid by farmers of IDR 15.29 billion.year-1 with a consumer surplus of IDR. 1.54 billion.year-1. The factors that influence farmers' willingness to pay for water services for availability irrigation water sustainability were farmer education, distance from the rice field to the tertiary irrigation channel, and the rice fields' location downstream of the Way Sekampung irrigation channel. The application of community-based natural resource conservation technology is necessary for the sustainability of rice farming in Lampung Province and the Sekampung watershed. Watershed management must be carried out in an integrated manner in one upstream-downstream management from technical, institutional, social, economic, multi-sectoral, and cross-regional aspects. The government plays a role in making regulations in the form of Regional Regulations (Perda) concerning the management of natural resource conservation in the Sekampung watershed across districts/cities by the Governor and the Regent/Mayor for each district/city. Water-saving movements can be carried out by applying intermittent irrigation technology, using water as needed for households and industries. In the long term, the government must make Regional Regulations (Perda) on determining the price of water irrigation, household, industrial and other purposes. In addition, repair of primary and secondary irrigation channels through government funds (APBN/APBD) as well as the participation of community groups in repairing tertiary irrigation channels. Funding is required (cost-sharing) from the public, private, and district/city governments that utilize the Sekampung watershed. An alternative to institutional management of WTP funds and other funding sources in cost-sharing is an autonomous multi-stakeholder partnership model consisting of elements from the Lampung Provincial Government, District/City Governments, community, private, and industrial sector. Keywords: erosion, sedimentation, water discharge, MICMAC, adaptation, local wisdom, willingness to pay, farming, sustainable.