IMPLEMENTASI SANKSI PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi terhadap Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

Main Author: Maulia Anisyah Putri , 1652011107
Format: Bachelors NonPeerReviewed Book Report
Terbitan: FAKULTAS HUKUM , 2020
Subjects:
Online Access: http://digilib.unila.ac.id/60953/1/ABSTRAK.pdf
http://digilib.unila.ac.id/60953/2/SKRIPSI%20FULL.pdf
http://digilib.unila.ac.id/60953/3/SKRIPSI%20TANPA%20PEMBAHASAN.pdf
http://digilib.unila.ac.id/60953/
Daftar Isi:
  • ABSTRAK Tindak pidana korupsi di Indonesia telah masuk dalam kategori tindak pidana yang membahayakan. Untuk mencegah meningkatnya pelaku tindak pidana korupsi maka dibentuklah undang-undang korupsi dan sistem peradilannya dengan hukuman terberat yaitu hukuman mati. Pengaturan pidana mati yang tertuang di dalam Pasal 2 Ayat ( 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini yang menjadi permasalahan yakni peraturan tersebut sampai saat ini belum terimplementasikan dengan baik, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimanakah implementasi sanksi pidana mati dalam Pasal 2 Ayat ( 2 ) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 dan apakah faktor-faktor penghambat implementasi sanksi pidana mati dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang diguanakan adalah data primer yang diperoleh dengan wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Akademisi Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Berdasarkan hasil penelitian permasalahan yang pertama implementasi sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi secara formulasi diatur dalam Pasal 2 Ayat ( 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yakni terbatas pada keadaankeadaan tertentu meliputi korupsi yang dilakukan ketika keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Keadan tertentu yang seperti disebutkan diatas akan jarang sekali ditemukan sehingga sulit dijatuhkan hukuman mati. Kemudian pengaturan tersebut tidak menjelaskan secara rinci kualifikasi unsur tindakan dalam keadaan tertentu. SedangkanMaulia Anisyah Putri permasalahan yang kedua faktor penghambatnya yakni belum adanya keseragaman pemahaman penafsiran antar penegak hukum dalam mengartikan Pasal 2 Ayat ( 2) , kemudian undang-undang yang dijadikan pedoman masih multitafsir dikarenakan belum adanya klasifikasi penegas seperti undang-undang lain dalam menjatuhkan hukuman mati sehingga sulitnya Pasal ( 2) Ayat ( 2) untuk terimplementasi dengan baik, kemudian kata dapat dalam Pasal 2 Ayat ( 2) membuat sifatnya fakultatif yang bisa membuka peluang untuk disalah tafsirkan dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan penjabaran diatas, saran yang dapat diberikan penulis dalam memperbaiki formulasi isi dalam Pasal 2 Ayat ( 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Bagi pihak legislatif sebaiknya perlu dilakukan studi lebih mendalam lagi pada Pasal 2 Ayat ( 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,mulai dari penambahan standar dana kerugian negara beserta klasifikasi yang jelas, agar pemberlakuan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dapat diberlakukan secara maksimal dan baik. Kemudian bagi pihak penegak hukum sebaiknya perlu dihapuskannya hal-hal yang meringankan bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk bisa memaksimalkan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal -hal yang meringankan seperti: Pengurangan hukuman terpidana korupsi yang telah mengembalikan uang hasil korupsinya. Selanjutnya adanya keseragaman pemahaman antar penegak hukum dalam menafsirkan Pasal 2 Ayat ( 2) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Kata kunci: Implementasi, Sanksi Pidana Mati, Tindak Pidana Korupsi.