Aspek Estetik Performa Barang Sebagai Dasar Penolakan Pembatalan Desain Industri Di Pengadilan Niaga (Studi Kasus terhadap Putusan Pengadilan Niaga Nomor 32/DESAIN INDUSTRI/2013/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 19 K/Pdt.Sus-HKI/2014)
Main Author: | MELATI, PUTERI |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2016
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://eprints.umm.ac.id/33297/1/jiptummpp-gdl-puterimela-43961-1-cover.pdf http://eprints.umm.ac.id/33297/2/jiptummpp-gdl-puterimela-43961-2-babi.pdf http://eprints.umm.ac.id/33297/ |
Daftar Isi:
- Keyword : Desain Industri, Kebaruan, Kesan Estetis Kasus ini bermula saat Deni Juni Prianto (Penggugat) menggugat PT. Indoasia Thrivetama (Tergugat I), Djohan Kohar (Tergugat II) dan Ditjen HKI (Turut Tergugat) atas terbitnya sertifikat Desain Industri dengan judul Pemanas Elektrik dengan alasan ketidak baruan. Dalam putusannya Hakim menolak gugatan tersebut karena Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya. Penulis ingin mengkaji bukti performa produk pembanding merupakan hal utama yang sebagai bukti adanya ketidak baruan Desain Industri dan ketiadaan unsur estetika performa produk dapat dijadikan sebagai dasar tidak adanya kebaruan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan analisis yuridis normatif, yaitu metode pendekatan kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian Penggugat hanya membuktikan dengan kwitansi dan mengajukan namun tidak menyertakan bukti fisik dari Pemanas Elektrik. Sehingga Majelis hakim tidak dapat menilai sejauh mana kesamaan yang ada pada desain industri Pemanas Elektrik miliknya dan milik para Tergugat oleh karenanya produk pembanding sangatlah penting atau menjadi hal utama yang harus diperhatikan penggugat sebagai dasar gugatan karena Desain Industri menilai performa produk yang hanya dapat dibuktikan dari bukti yang dapat dilihat atau dinilai secara kasat mata. Penulis menemukan fakta bahwa tidak ada kesan estetis dalam Pemanas Elektrik tersebut, sehingga Pemanas Elektrik tersebut bukanlah Desain Industri berdasarkan tampilan luarnya yang tidak memiliki kesan estetis dan bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Desain Industri dan pasal 25 ayat 1 perjanjian TRIPs. Undang-Undang Desain Industri sendiri tidak membatasi pengertian kebaruan dan estetis sehingga sering terjadi multitafsir. Seharusnya perlu diadakan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang menafsirkan batas kebaruan dan pengengertian kesan estetis agar tidak rancu.