PERILAKU NON PARTISAN DALAM PEMILU LEGISLATIF 2009 (Studi Kasus di Kecamatan Kartoharjo Kota Madiun)

Main Author: Trimarsono, Didik
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2013
Subjects:
Online Access: http://eprints.umm.ac.id/30536/1/jiptummpp-gdl-didiktrima-33301-2-bab1.pdf
http://eprints.umm.ac.id/30536/2/jiptummpp-gdl-didiktrima-33301-1-pendahul-n.pdf
http://eprints.umm.ac.id/30536/
Daftar Isi:
  • Pemilu legislatif (Pileg) 2009 lebih unik dan menarik dibanding Pemilu kepala daerah atau Pemilu presiden. Daya tariknya adalah peserta Pemilu diikuti oleh banyak partai/Caleg dan pemilih disuguhi dengan 4 (empat) lembar surat suara yang lebar di bilik suara yang cukup sempit, situasi ini dianggap berkontribusi kepada menggelembungnya surat suara tidak sah. Fokus masalah penelitian adalah bagaimana gambaran perilaku pemilih non voting (Golput) dan mengapa terjadi perilaku non voting pada Pemilu legislatif 2009. Lokasi yang dipilih adalah kecamatan Kartoharjo kota Madiun karena selain merupakan daerah di pinggiran perkotaan yang bercirikan agraris (hinterland) juga sebagai pusat kawasan perdagangan dan industri. Kepustakaan tentang pemilih non voting (Golput) ini telah mengklasifikasi Golput yaitu 1) secara umum sebab terjadinya Golput karena alasan teknis dan alasan politis (Syamsudin Haris, 2008), dan 2) menurut Louis Desipio dkk (2007) membagi menjadi Register Non Voter, Citizen Not Voter, dan Not Citizen. 3) Menurut LSI (2007) Golput terdiri empat kelompok, yaitu pemilih sadar memilih tetapi tak mau memilih, pemilih tidak terdaftar, terpaksa karena sibuk, dan suara tidak sah karena teknis. Fokus masalah perilaku pemilih non partisan didekati dengan landasan teori tindakan rasional Max Weber dan definisi situasi W.I Thomas. Penelitian kualitatif dengan studi kasus ini sumber data sebagi subyek adalah pemilih Golput karena tak masuk DPT, masuk DPT tetapi tak hadir di TPS, dan masuk TPS tetapi ada kecenderungan memperlakukan surat suara menjadi tidak sah. Informan dipilih secara snow-ball sampiling, dengan wawancara secara mendalam dan berantai/menggelinding dari satu informan ke informan lain dengan maksud untuk memperkaya informasi dan akurasi data. Sebagai informan lain adalah penyelenggara Pemilu (KPU, PPK dan PPS) dan Caleg selaku peserta Pemilu sebagai data pendamping. Sebagai penjelasan atas pertanyaan bagaimana gambaran perilaku pemilih Golput juga disajikan olahan data sekunder hasil Pemilu terkait persentase non partisan dan suara tidak sah. Temuan data dianalisa seberapa jauh perbedaan antar individu dengan lainnya melalui interview terseleksi dan mendalam (Faisal, 1990) dan dengan teknik pencermatan secara Trianggulasi Sumber, maksudnya membandingkan data wawancara dengan dokumen yang terkait dan membandingkan apa yang dikatakan di depan publik dengan secara pribadi (Moeleong, 2000). Golput karena tak hadir di bilik suara pada tiga kali Pilkada tahun 2008 memiliki persentase yang cukup tinggi yaitu kisaran 37% sampai 46%. Pada tahun 2009, Golput Pileg 39% dan Golput Pilpres 33%, Golput bisa terjadi karena perlakuan pemilih kepada surat suara menjadi tidak sah. Suara tidak sah ini persentasenya sangat bervariasi secara ekstrim, pada Pilkada 2008 berkisar 4%-6% dan Pilpres 2009 masih diposisi 5%. Pileg 2009, suara tidak sah DPR RI dan DPRD Provinsi rata-rata 20%, suara tidak sah DPRD Kota Madiun 7% dan suara tidak sah DPD melompat tinggi sampai 34%. Alasan terjadinya Golput pada Pileg 2009, diantaranya: 1) tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), sikap atau respon subyek atas Golput ini diantaranya adalah aktif mengurus/protes kepada KPU supaya dapat undangan, dan pasif/membiarkan dirinya menjadi non partisan karena tak ada imbalan serta pasrah menerimanya karena merasa bersalah tak melihat pengumuman. 2) masuk DPT tetapi tak hadiri TPS, beberapa alasannya adalah bepergian jauh dan menyesal tidak mencoblos, ada yang malas hadir, tidak cocok dengan caleg yang ada, ada urusan keluarga sakit dan bila ikut menyontreng tak akan mengubah nasib. 3) masuk TPS tetapi surat suara tidak sah, faktor penyebabnya meliputi terpaksa dua kali contreng karena ragu/grogi, cawang melebihi batas kolom (tidak tahu kalau itu salah), surat suara tak dibuka dibiarkan kosong (tak diberi tanda), dan sengaja memilih lebih dari satu karena terlanjur menerima imbalan lebih dari satu Caleg. Temuan penelitian dengan sumber informan dari peserta Pemilu (Caleg) dan penyelenggra Pemilu (KPU, PPK, PPS), beberapa penyebab terjadinya Golput dengan alasan 1) tidak masuk DPT adalah adalah pemilih harus aktif mengecek adanya pengumuman DPS/DPSHP/DPT, dan panitia harus dilatih supaya lebih cermat dalam dalam menyusun DPT. 2) besarnya persentase (sampai 38%) karena tak masuk TPS, mereka terdiri dari para pekerja/mahasiswa ada di luar kota, masih ada pemilih tak dikenal namanya dalam DPT dan pemilih sudah pindah alamat, jenuh atau bosan dengan Pemilu yang waktunya berdekatan, dan masih ditemukan pemilih yang beridentitas ganda. 3) ekstrimnya persentase suara tidak sah (antara 7%-34%) dalam Pileg (DPR, DPRD Provinsi, DPD) hal ini terjadi karena perubahan cara nyoblos ke cara nyontreng terutama pemilih lansia, banyaknya partai/Caleg dalam surat suara membuat pemilih bingung menemukan calonnya yang kemudian bersikap asal contreng saja karena merasa malu lebih lama berada dalam bilik suara. Temuan peneliti terkait klasifikasi Golput berbeda dengan pendapat Samsudin Haris (2008) dan Louis Desipio dkk (2007) dan LSI (2008). Golput berdasar sebab terjadinya dapat diklasifikasi menjadi 1) Golput alasan non DPT, 2) Golput alasan non TPS, dan 3) Golput alasan suara tak sah. Sedikit kemiripan dengan pendapat Louis Desipio dkk tetapi ada perbedaan dalam menyebut not citizen (bukan warga negara) adalah termasuk Golput. Sedangkan dengan LSI Salemba Gruop, ada kemiripan dalam klasifikasi tetapi juga ada perbedaan pada Golput non TPS. Sementara peneliti menemukan cara atau perlakuan terhadap surat suara menjadi tidak sah itu juga termasuk perilaku Golput.