ANALISIS METODE IRFANI DALAM ISTIMBATH HUKUM ISLAM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Main Author: | Muthohirin, Ali |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://eprints.umm.ac.id/30251/1/jiptummpp-gdl-alimuthohi-31554-2-babi.pdf http://eprints.umm.ac.id/30251/2/jiptummpp-gdl-alimuthohi-31554-1-pendahul-n.pdf http://eprints.umm.ac.id/30251/ |
Daftar Isi:
- Penelitian ini adalah refleksi terhadap metode istinbath hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah. Secara historis, Muhammadiyah yang lahir sebagai organisasi modern muncul di pusaran situasi imperialisme, berasal dari manifestasi spirit pencerahan dan pemikiran Ahmad Dahlan. Islam ditafsirkan secara lebih memihak kemanusiaan melalui spirit Rahmatan Lil ‘Alamin. Karena perkembangan yang pesat, Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih, sebagai institusi yang menangani persoalan syariah dan fiqih, berdasarkan sumber-sumber otentik, al-Qur’an dan Hadits. Institusi ini berfungsi menemukan argumentasi yang paling kuat di antara dua pendapat yang bertentangan. Maksud dari aktivitas ini adalah untuk menghindari perpecahan satu sama lain. Dalam perkembangannya, Majelis Tarjih lebih tanggungjawab yang lebih berat karena harus memutuskan suatu perkara hukum yang tidak ada solusinya di dalam teks-teks keagamaan. Sebagai lembaga yang berfungsi menemukan solusi hukum baru di dalam masyarakat, Majelis Tarjih mengembangkan metodologi di dalam istinbath. Karena itu, lahirlah apa yang dimaksud dengan istilah bayani, qiyasi dan istishlahi. Metode inilah yang dimanfaatkan oleh para ulama untuk memahami persoalan hukum yang digali dari al-Qur’an dan Hadits. Perkembangan di kemudian hari, Muhammadiyah menggunakan metodologi yang lebih mutakhir, seperti bayani, burhani dan irfani. Menurut Amin Abdullah, perangkat ilmiah ini merupakan formulasi yang diadopsi dari Muhammad Abed al-Jabiri pada saat Musyawarah Nasional Tarjih di Jakarta. Kendati demikian, karena metodologi ini baru, khususnya pendekatan irfani tidak semua menerimanya, bahkan mengalami penolakan. Oleh sebab irfani mengandung dimensi dzauq, wijdan dan intuisi, maka sulit untuk dijadikan rujukan karena sifatnya yang subyektif dan tidak memiliki klasifikasi yang jelas. Sifat abstrak istilah irfani inilah yang membuatnya tertolak, karena hukum harus jelas dan bersifat rigor. Di sisi lain beberapa ulama menerimanya. Karena irfani juga bisa berarti spiritualitas, maka hal ini dapat diakomodir sebagai spirit dalam menggali hukum. Menurut Hamim Ilyas, irfani sebagai kedalaman batin, tentu saja termasuk aspek ruhani di dalam hukum yang bisa dipakai. Diskusi tentang metodologi ini tidak akan pernah usai, karena Majelis Tarjih tidak pernah merumuskan irfani secara lebih spesifik. Namun, secara genalogis, mendiskusikannya dalam konteks Muhammadiyah, irfani selalu tertolak karena hanya menggunakan bayani saja. Sementara itu, mereka yang menerima irfani, berharap adanya terobosan hukum karena menimbang kompleksnya problematika yang dihadapi, termasuk menyangkut interdisipliner pengetahuan.