FIQIH DAN NALAR MASLAHAH (Studi Terhadap Pemikiran Najam al-Dîn al-Thûfi Tentang Konsep Ri’âyatu al-Maslahah)
Main Author: | HAERI, |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://eprints.umm.ac.id/28649/1/jiptummpp-gdl-haeri20101-33052-1-pendahul-n.pdf http://eprints.umm.ac.id/28649/2/jiptummpp-gdl-haeri20101-33052-2-babi.pdf http://eprints.umm.ac.id/28649/ |
Daftar Isi:
- Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah konsep ri’âyatu al-maslahah al-Thufi. Ri’âyah al-maslahah, merupakan tujuan hukum yang dalam hukum Eropa disebut dengan doelma tigheid (rech-idea), yakni litahqîq mashalih al-nash (dalam rangka merealisasikan kemaslahatan umat manusia), begitu juga konsep ri’ayah al-maslahah Najam al-Dîn al-Thufi. Al-Thufi menjadikan maslahah sebagai pertimbangan hukum pertama serta independen tanpa didukung nash tertentu maupun makna yang terkandung di dalam sejumlah nash. Karya ini hendak menjelaskan pemahaman ri’ayah al-maslahah serta epistemologi Najam al-Dîn al-Thufi dan relevansinya dengan pembaharuan hukum Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang ditujukan untuk mendeskripsikan pemikiran seorang al-Thufi dalam kontesk ria’ayatu al-maslahah. Dalam penelitian kualitatif ini, penulis menggunakan model studi kepustakaan (library reaserch). Yaitu, menghimpun informasi (bacaan) dari buku-buku, desertasi, penerbitan (majalah, surat kabar) yang ada relevansinya dengan topik penelitian. Pemikiran ri’âyatu al-maslahah al-Thufi dipandang radikal dan bahkan ekstrem karena menempatkan maslahah sebagai dalil independen yang tidak membutuhkan dukungan nash. Prinsip ini sebagai konsekuensi dari ungkapannya bahwa akal secara mandiri dapat menentukan kebaikan maupun mafsadat sesuatu. Karenanya, tidak ada ketergantungan terhadap nash ataupun ijm⒠sebagai bentuk konfirmasi bagi maslahah. Konsep maslahah yang diusung al-Thûfi berbeda dengan pendapat ushul fikih klasik. Al-Thûfi tidak membagi kategori maslahah dengan tingkatan-tingkatan maupun kategori, tetapi ia menempakan maslahah secara mutlak yang independen. Konsep yang seperti ini tidak lagi memposisikan maslahah hanya sebagai teori istinbâth sebagaimana konstruksi para ulama ushul fikih klasik. Pandangan al-Thûfi tentang ”ta’ârudl” antara nash, ijm⒠dengan maslahah juga berbeda dengan pendapat mainstream. Bagi al-Thûfi, jika ada pertentangan (ta’ârudl) yang demikian, maka harus mendahulukan maslahah daripada keduanya. Pengutamaan maslahah daripada keduanya bukan cara meninggalkan, tetapi dengan cara takhsîsh dan bayân. Pemikiran maslahah al-Thûfi tidak berlaku dalam konteks ibadah dan perkara-perkara muqaddarât, tetapi hanya dalam konteks muamalah. Karena ibadah dan muqaddarât, penentuan kemaslahatannya secara mutlak otoritasnya ada di tangan Allah. Dalam hal ini, manusia harus bergantung kepada nash ataupun ijm⒠sebagai landasan utamanya. Kata Kunci: ri’âyatu al-maslahah, pembaharuan hukum Islam, ushul fiqh, ta’arudl