PELAKSANAAN KEWENANGAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH POLRI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PENANGKAPAN (Studi di Wilayah Hukum Polres Nganjuk)

Main Author: RAHAYU, YUNIATIK
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2013
Subjects:
Online Access: http://eprints.umm.ac.id/28182/1/jiptummpp-gdl-yuniatikra-32174-1-pendahul-n.pdf
http://eprints.umm.ac.id/28182/2/jiptummpp-gdl-yuniatikra-32174-2-babi.pdf
http://eprints.umm.ac.id/28182/
Daftar Isi:
  • Dalam menghadapi tindakan pelaku tindak pidana yang bersifat tiba-tiba ketika dilakukan penangkapan, maka polisi dituntut untuk segera mengambil tindakan untuk bisa menghentikan perilaku yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana berdasarkan penilaiannya sendiri dan pertimbangan atas situasi dan kondisi yang ada di lapangan dalam menghadapi pelaku tindak pidana. Kewenangan ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh polisi adalah tindakan tembak di tempat. Dalam tindakan tembak di tempat yang berdasarkan penilaian individu dari anggota polisi, tentunya antara praktik di lapangan dan prosedur yang ditetapkan dalam aturan tidaklah sama, sehingga menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian dengan mengambil dua permasalahan, yaitu :1. Bagaimana pelaksanaan kewenangan tempak di tempat oleh Polisi di Polres Nganjuk dalam menangkap pelaku tindak pidana? 2. Bagaimana hambatan dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat oleh Polisi di Polres Nganjuk dalam upaya menangkap pelaku tindak pidana?. Di dalam penelitian ini penulis menggunakan metode yuridis sosiologis. Tehnik pengumpulan datanya berupa wawancara dan studi dokumen dari Polres Nganjuk. Data hasil penelitian dianalisa secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat secara yuridis dilakukan berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun pelaksanaan kewenangan tembak di tempat ketika di lapangan juga didasarkan pada asas diskresi, yaitu dilakukan dengan penilaian individu polisi berdasarkan pada situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Dan mengenai hambatan yang terjadi diantaranya adalah berasal dari anggota polisi itu sendiri yaitu kurangnya latihan menembak, pengalaman, dan konsentrasi polisi dalam menembak. Hambatan dari pelaku tindak pidana adalah adanya perlawanan, serta hambatan dari masyarakat adalah kurangnya kerjasama dari masyarakat dalam menangkap pelaku tindak pidana.