KRITIK POLITIK DALAM LAGU KARYA BAND EFEK RUMAH KACA (Analisis Semiotik dalam Lirik Lagu pada Album “Efek Rumah Kaca” dan “Kamar Gelap”)
Main Author: | Renaningtyas, Dian Kurniasari |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://eprints.umm.ac.id/26728/1/jiptummpp-gdl-diankurnia-31197-1-pendahul-n.pdf http://eprints.umm.ac.id/26728/2/jiptummpp-gdl-diankurnia-31197-2-babi.pdf http://eprints.umm.ac.id/26728/ |
Daftar Isi:
- Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi, dimana pemerintahan dibentuk melalui kedaulatan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat). Menurut Dr. Atwar Bajari dan Drs. S.Sahala Tua Saragih, negara yang memiliki alam demokrasi akan memiliki komunikasi politik yang sehat. Suatu negara memiliki komunikasi politik yang sehat dimana jika negara tersebut memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk menyalurkan aspirasi, pendapat, serta menjunjung tinggi hak asasi masyarakatnya. Termasuk dalam penyampaian kritik politik, yang disebut oleh John Lazarus (1999) sebagai partisipasi politik. Penyampaian aspirasi masyarakat ini dilakukan dalam ruang publik (public sphere) dan dapat melalui berbagai media. Salah satunya adalah melalui lirik lagu, seperti yang dilkakukan oleh band indie asal Jakarta, Efek Rumah Kaca. Lagu-lagu mereka dinilai sebagai “angin segar” bagi masyarakat. Ternyata dalam beberapa lagu, mereka menyampaikan kritik politik kepada pemerintah melalui lirik yang mereka ciptakan, yang hingga masih relevan dengan kondisi dewasa ini. Lagu-lagu tersebut adalah “Hilang”, “Jalang”, “Di Udara”, dan “Mosi Tidak Percaya”. Oleh karena itulah, peneliti tertarik untuk mengetahui apa makna kritik politik yang disampaikan oleh Efek Rumah Kaca melalui lirik lagu yang mereka ciptakan. Untuk mengupas makna kritik politik yang terkandung dalam lirik lagu, peneliti menggunakan tipe penelitian kualitatif-interpretatif dengan pendekatan analisis semiotika Roland Barthes. Sebuah kata yang pada dasarnya memiliki makna konvensional (umum) dan tidak membawa makna tersendiri bagi pembaca maupun pendengarnya. Namun ketika seseorang merangkai sebuah kata, sebenarnya ia sedang merangkai pola-pola makna. Pola inilah yang “dibedah” oleh semiotika, dimana sebuah kata akan dimaknai dalam tingkatan denotatif (makna sebenarnya) dan dalam tingkatan konotatif (makna khusus). Dan dalam proses pemaknaan, peneliti menganggap sang pengarang sudah mati (author was die) sesuai dengan teori Roland Barthes. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat tiga makna kritik politik yang terkandung dalam lirik lagu yang diciptakan oleh Efek Rumah Kaca. Makna kritik poltik yang pertama adalah dibatasinya kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi mereka, terutama dalam menyalurkan ketidaksetujuan terhadap kinerja pemerintah Makna kritik politik kedua yang disampaikan oleh Efek Rumah Kaca adalah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh pemerintah yang tidak maksimal. Hal ini dituangkan oleh Efek Rumah Kaca dalam dua lagu, yaitu “Hilang” (yang menyoroti mengenai kasus orang hilang 97/98) dan “Di Udara” (yang terinspirasi oleh kasus pembunuhan Munir). Serta, dalam lagu “Mosi Tidak Percaya”, Efek Rumah Kaca mengkritisi mengenai kinerja pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan janji-janji semasa kampanye. Sehingga masyarakat pun memiliki sikap apatis kepada pemerintah.