TINJAUAN YURIDIS NORMATIF NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN INDONESIA

Main Author: SULISTIANI, NITA
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2006
Subjects:
Online Access: http://eprints.umm.ac.id/12632/1/TINJAUAN_YURIDIS_NORMATIF_NOTA_KESEPAHAMAN.pdf
http://eprints.umm.ac.id/12632/
Daftar Isi:
  • Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka merupakan hasil kebijakan tawar-menawar politik antara Pemerintah RI dan GAM. Sebagai dokumen hukum yang mengandung muatan politik, Nota Kesepahaman RI-GAM sangat dekat dengan materi-materi ketatanegaraan, untuk itu yang menjadi obyek sekaligus permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana tinjauan yuridids normatif nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia sehubungan dengan diberikannya Aceh hak memiliki simbol daerah yaitu bendera, lambang dan himne, serta akan difasilitasinya partai politik lokal. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan memanfaatkan teknik analisis data deskriptif kualitatif yaitu dengan mengadakan penelusuran atau kajian Nota Kesepahaman RI-GAM terhadap Undang Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang lain dengan tujuan menjawab permasalahan yang telah dikemukakan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya penyimpangan antara substansi Nota Kesepahaman RI-GAM terhadap ide negara kesatuan. Penyimpangan disini diartikan sebagai penyimpangan dalam arti konsep ketatanegaraan Indonesia yang dituangkan pada Nota Kesepahaman RI-GAM terhadap Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (Amandemen ke-4). Penyimpangan konsep tersebut terjadi dengan diberikannya beberapa hak istimewa pada Aceh yaitu hak untuk memiliki simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne, serta difasilitasinya partai politik lokal untuk dapat berkembang di Aceh. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan simbol wilayah dan partai politik lokal tidak didukung kehadirannya oleh beberapa Undang-Undang Nasional. Dua hak yang cukup menguntungkan Aceh ini merupakan bentuk tidak konsistennya Pemerintah RI terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbentuk kesatuan, karena apabila keberadaan Aceh dengan segala keistimewaannya terus didiamkan, maka akan terbentuk pemahaman bahwa Negara Indonesia tidak lagi menjadi kesatuan melainkan negara federasi. Kemudian Aceh akan tumbuh menjadi negara dalam negara dan terbentuklah negara Aceh sebagai negara bagian Indonesia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah selama ini Negara Indonesia terus saja menerapkan sistem ketatanegaraan yang cenderung mendua antara kesatuan dan federasi (dualisme sistem), dimana sifat dualisme ini menunjukkan tidak konsistennya Negara Indonesia terhadap konstitusi sendiri. Dengan demikian, maka penulis merekomendasikan agar pemerintah bersikap tegas terhadap adanya indikasi-indikasi kearah federasi dan mengembalikan semua persoalan pada hakekat konsep negara kesatuan sesuai dengan UUD 1945 (Amandemen ke-4). Berdasarkan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (Amandemen ke-4) bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, maka baik Pemerintah Republik Indonesia maupun pihak Gerakan Aceh Merdeka harus konsisten terhadap bentuk kesatuan yang telah disepakati dan pemberlakuan khusus oleh pemerintah pusat pada Aceh harus tetap dalam koridor otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 (Amandemen ke-4)