KALPATARU Majalah Arkeologi vol. 25 nomor 2

Main Authors: Prasetyo, Bagyo, -, Nasruddin, Rema, Nyoman, Fairyo, Klementin, Intan, M. Fadhlan S
Format: Article PeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Subjects:
Online Access: http://repositori.kemdikbud.go.id/1548/1/kalpataru%2025%20%282%29.pdf
http://repositori.kemdikbud.go.id/1548/
Daftar Isi:
  • Bagyo Prasetyo Pusaka Budaya Kawasan Pesisir: Tinjauan Arkeologis Peninggalan Megalitik di wilayah Perbatasan Kalimantan: Kontak Budaya Antara Kepulauan Indonesia dan Serawak Vol 25 No. 2, November 2016, hlm. 75 - 86 Kawasan pesisir sejak lama telah menjadi salah satu Sebagai wilayah perbatasan, Kalimantan Utara mengandung kekayaan budaya terkait dengan peninggalan megalitik. Kurangnya sarana dan prasarana mengakibatkan akses ke situs-situs tersebut sangat sulit untuk dicapai, sehingga eksplorasi yang telah dilakukan dari beberapa kegiatan belum bisa menjangkau keseluruhan. Permasalahan yang muncul dengan keterbatasan itu adalah belum diketahui secara jelas sejauh mana kontak budaya antara megalitik wilayah perbatasan Kalimantan Utara dengan megalitik yang ada tempat-tempat lain. Tujuan dari penelitian ini untuk memberikan gambaran hubungan antara megalitik di perbatasan Kalimantan Utara dengan megalitik di Serawak serta megalitik di Indonesia. Metode yang digunakan adalah melalui pendekatan difusi budaya melalui studi literatur hasil-hasil penelitian terhadap megalitik di wilayah perbatasan Kalimantan Utara dan megalitik yang ada di Serawak dan di Indonesia secara umum. Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa didasarkan atas persebaran bentuk-bentuk tempayan batu di wilayah perbatasan menunjukkan adanya koneksitas budaya dengan tempayan-tempayan batu di Serawak dan beberapa tempat lain di Indonesia (Sulawesi Tengah, Samosir, Toraja, dan Bima). Nasruddin Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan Vol 25 No. 2, November 2016, hlm. 87 - 102 Potensi warisan budaya terutama situs-situs prasejarah di sepanjang bukit-bukit karst di Pulau Rote memiliki nilai penting dalam konteks pemahaman dan pengetahuan arkeologi Nusa Tenggara Timur. Posisi geografis Pulau Rote di masa lalu, setidaknya pada masa akhir plestosen dan holosen dengan adanya jejak-jejak hunian manusia di gua dan ceruk. Bukti historis lainnya adanya temuan kapak perunggu yang menunjukkan bahwa Pulau Rote merupakan wilayah yang strategis pada era paleometalik. Ditemukannya berbagai jenis pecahan tembikar, serpih dan fragmen tulang fauna, sisa-sisa makanan moluska menimbulkan beberapa pertanyaan terhadap lokasi ini di masa lalu, apakah situs ini memiliki fungsi hunian semata, ataukah mempunyai fungsi lain. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap sumberdaya arkeologi beserta kondisi geologi yang dimiliki Pulau Rote. Metode yang digunakan yaitu melakukan observasi lapangan (survei) dan dilanjutkan dengan ekskavasi terhadap situs yang memiliki indikasi kuat sebagai hunian prasejarah Rote dan dianggap mewakili situs hunian prasejarah Rote Ndao. Dari penelitian ini diperoleh sejumlah data artefak litik berupa alat-alat serpih, tembikar dan deposit cangkang moluska dan tulang. Potensi data arkeologi (prasejarah karst) Pulau Rote Ndao memiliki nilai penting untuk mengungkap jalur migrasi, terutama posisi geografinya sebagai pulau terdepan dan wilayah perbatasan antara Timor Leste dan Australia. Nyoman Rema dan Hedwi Prihatmoko Potensi Arkeologi di Pulau Alor Vol 25 No. 2, November 2016, hlm. 103 - 116 Alor merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste dan memiliki berbagai tinggalan budaya penting dari masa lampau, berupa tradisi megalitik hingga berkembangnya agama-agama besar di Nusantara. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui potensi arkeologi di pulau Alor, yang kemudian perlu dikembangkan untuk memperkuat karakter dan jati diri, cinta tanah air, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Alor. Data penelitian ini dikumpulkan melalui studi pustaka. Setelah data terkumpul, pengolahan dilakukan secara descriptif-kualitatif dengan mendeskripsikan tinggalan arkeologi, fungsi dan maknanya berdasarkan hasil penelitian yang kemudian diakhiri dengan penyimpulan. Potensi tinggalan arkeologi di pulau ini berupa misba, rumah adat, moko, struktur bangunan, Al Quran kuno, kubur tempayan, kubur ceruk, dan periuk tumbuh. Berbagai potensi arkeologi tersebut membuktikan tingginya nilai peradaban masyarakat Alor, sekaligus sebagai media komunikasi dalam membangun hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama, dan lingkungannya. Klementin Fairyo Lukisan Dinding Gua Prasejarah di Perbatasan Indonesia – Papua Nugini Vol 25 No. 2, November 2016, hlm. 117 - 130 Penelitian tentang lukisan dinding gua di Keerom yang berbatasan dengan Papua Niugini menarik untuk dikaji. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa di wilayah perbatasan banyak lukisan dinding gua yang belum diteliti ecara mendalam. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui ragam bentuk lukisan dinding gua di Keerom, fungsi dan makna lukisan dinding gua tersebut bagi masyarakat pendukungnya serta peran lukisan dinding gua dalam mempertahankan wilayah perbatasan Indonesia. Metode penelitian yag digunakan yaitu pengumpulan data berupa studi kepustakaan, observasi lapangan dan wawancara. Pengolahan data meliputi analisis morfologi, analisis teknologi dan cara perekaman piktorial. Hasil penelitian menunjukkan bentuk lukisan dinding gua di Web dan Kibay yaitu lukisan figuratif dan non figuratif. Hasil karya seni tersebut merupakan himpunan simbol-simbol atau lambang-lambang yang mengandung nilai kehidupan. Makna lukisan adalah makna religi, komunikasi dan sosial. Peran lukisan dinding gua adalah sebagai tradisi berlanjut, jati diri dan mempertahankan wilayah adat. enggara Timur. Vol 25 No. 2, November 2016, hlm. 131 - 146 Pulau Sabu dengan gugusan pulaunya termasuk Kabupaten Sabu Raijua, terletak di selatan Negara Republik Indonesia. Penelitian di Nusa Tenggara Timur berawal oleh Th. Verhoeven tahun 1950an di Pulau Flores dan Timor. Selanjutnya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1970 di Flores, Timor, dan Sumba, tahun 1980 di Atambua dan Pulau Sabu, serta tahun 2010 di Pulau Sabu. Penelitian yang telah dilaksanakan di Pulau Sabu selama ini, lebih banyak terfokus pada arkeologi, etnografi, sedangkan penelitian yang bersifat geologi belum pernah dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan penelitian di Pulau Sabu adalah bagaimana kondisi geologi secara umum. Maksud dan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi geologi Pulau Sabu secara detil yang meliputi bentang alam, batuan penyusun, dan struktur geologi. Metode yang digunakan, adalah survei geologi. Hasil penelitian di Pulau Sabu terdiri dari satuan morfologi dataran, dan satuan morfologi bergelombang lemah, dengan ketinggian adalah 0-350 meter diatas permukaan air laut. Batuan penyusun adalah napal, tufa, batugamping, dan aluvial, serta dilalui Sesar Normal. Kepurbakalaan di Pulau Sabu berupa paleolitik, megalitik, perkampungan adat, dan gua.