Status hak keperdataan anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami setelah putusan MK No. 46/PUU VIII/2010 (tinjauan hukum Islam dan Hukum Positif)

Main Author: Muhamad Zaenuri
Other Authors: Mesraini
Format: bachelorThesis
Bahasa: ind
Terbitan: Jakarta: Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Subjects:
Online Access: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/41760
Daftar Isi:
  • Skripsi ini bertujuan untuk mengungkap 3 (tiga) hal yaitu: 1. Bagaimanakah status nasab anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami menurut Hukum Islam. 2. Bagaimanakah status hak keperdataan anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami setelah putusan MK No. 46/PUU VIII/2010. 3. Bagaimanakah Pandangan Hukum Positif terhadap status dan hak keperdataan anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami setelah putusan MK No. 46/PUU VIII/2010. Penelitian ini merupakan library research (penelitian kepustakaan) dengan menggunakan pendekatan yuridis dan pendekatan normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder. Yang menjadi data primer adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU VIII/2010. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif dan dengan metode ushuliyah. Hasil dari penelitian ini adalah: (a). Menurut Hukum Islam, status nasab anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami hanya bisa dinasabkan kepada ibunya saja. (b). Berdasarkan putusan MK. No.46/PUU VIII/2010 anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami, dapat memperoleh hak keperdataan dari seorang ayah biologisnya selagi dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah. (c). Sedangkan menurut hukum positif, status hak keperdataan anak hasil Fertilisasi in Vitro pasca kematian suami setelah putusan MK No. 46/PUU VIII/2010 adalah anak mendapatkan hak-hak keperdataan dari ibu dan ayahnya karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari status perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak padahal anak tersebut tidak bersalah. Namun demikian putusan MK No 46/PUU VIII/2010 tidak serta merta menjadi payung hukum bagi anak hasil fertilisasi in vitro pasca kematian suami, hak-hak keperdataan tersebut tetap harus melalui proses beracara di pengadilan