Al-Tafkir al-Islami‘an Taḥrir al-Mar’ah bi Indunisiya

Main Author: Emzi Netri
Format: Journal
Bahasa: ar
Online Access: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/32133
Daftar Isi:
  • Posisi perempuan yang umumnya lemah dalam masyarakat telah mendorong lahirnya pemikiran dan gerakan emansipasi perempuan dari kalangan Muslim Indonesia. Para tokoh utamanya menggugat pemahaman Islam tentang perempuan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi karena dinilai bertanggung jawab atas inferioritas dan posisi subordinatif perempuan di tengah-tengah masyarakat. Menurut keyakinan mereka, Islam adalah rahmat bagi semua. Karena itu, Islam tidak mungkin mengistimewakan laki-laki dan merendahkan perempuan. Semua tokoh ini kritis terhadap pemahaman Islam dalam hubungannya dengan posisi perempuan sekalipun artikulasi pemikirannya dalam menanggapi persoalan tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman dan konteksnya. Pemahaman Islam yang memberi tempat rendah pada perempuan misalnya dapat dtlihat dalam “kitab kuning”. “Kitab kuning” yang meluas dipakai kiyai dan ulama tradisional dengan basis pesantren, memandang bahwa kedudukan perempuan berada di bawab laki-laki. Penggambaran demikian dapat dilihat misalnya dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn fi Bayan Huquq al-Jawzayn, karya Nawawt al-Bantani, yang merupakan salah satu kitab yang banyak dibaca di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam banyak hal, kitab tersebut banyak menekankan kewajiban isteri atas suami daripada sebaliknya. Laki-laki dalam kitab ini diposisikan sebagai subyek, sedangkan perempuan sebagai obyek. Respons atas pemahaman semacam itu, di Indonesia, apabila dilihat dari temanya, dapat dibagi kepada tiga gelombang. Gelombang pertama terjadi ,akhir abad ke-19 dan awal abad 20. Gelombang kedua ialah kurun 1960-an dan 1970-an dan gelombang ketiga adalah periode pasca tahun 1980-an. Diskursus Islam gelombang pertama merupakan pikiran-pikiran pelopor dan penggagas. Pada periiode ini perhatian tertuju pada perbaikan persoalan mendesak dan mendasar bagi perempuan meliputi pendidikan, pembebasan dan diskriminasi tradisi dan perbaikan status individual dari sosial dalam perkawinan seperti kasus poligami. Walaupun aspirasinya tidak sekuat dari perempuan golongan sekuler, tokoh gerakan gelombang ini seperti Rohana Kudus dan Rahmah el-Yunusiyyah dengan sangat jelas menuntut perbaikan kesempatan bagi perempuan. Rohana Kudus bertolak dari “iqra” atau perintah membaca dalam al-Qur’an, menegaskan bahwa tulis-baca bukanlah hak istimewa pihak laki-laki, akan tetapi juga hak mendasar yang harus diterima perempuan. Diskursus Islam gelombang kedua berkisar tema perempuan dan pembangunan. Periode ini ditandai oleh usaha perempuan Indonesia untuk memperoleh apa yang disebut “mitra dalam pembangunan”. Salah seorang tokoh yang dapat disebut ialah Zakiah Daradjat. Tokoh ini menolak anggapan sementara orang yang berpandangan bahwa perempuan tidak dapat berkiprah dalam pembangunan nasional atau dalam lapangan sosial lebib luas. Juga terhadap pandangan yang membatasi perempuan dari hak dan kewajibannya untuk bersama laki-laki menuntut ilmu. Yang penting dicatat, lebih kurang pada periode inilah iklim intetektual Indonesia mulai menggunakan istilah feminisme dan gender sebagai istilah teknis keilmuan. Gelombang ketiga memiliki kekhasan karena pada masa ini eksponen pemikiran Islam tentang emansipasi lebih artikulatif. Mereka dengan intens berusaha mendialogkan Islam vis-a-vis realitas sosial perempuan dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Mereka menggugat penafsiran-penafsiran keagamaan yang telah bertanggung jawab atas ketidakadilan gender. Tokoh terkemuka periode ini di antaranya ialah Wardah Hafidz, Budhy Munawar Rachman dan Mansour Faqih. Mereka umumnya meyakini, pemahaman keagamaan tertentu pada dasarnya merupakan kontruksi sosial. Bagi tokoh•tokoh gelombang ketiga, reinterpretasi nilai-nilai agama sangat mendesak dilakukan, namun pa.da saat yang sama juga harus dilakukan transformasi struktur ekonomi, politik dan hukum yang memungkinkan perempuan sebagai subyek.