Tanzim al-Taqalid al-'Ilmiyyah al-Islamiyyah fi Jawah fi al-Qarn al-Tasi' 'Ashar wa Nufudhuh Nahw al-Tatawwur al-Islami fi Indunisiyya
Main Author: | Moh. Nurhakim |
---|---|
Format: | Journal |
Bahasa: | ar |
Online Access: |
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/31913 |
Daftar Isi:
- Studi khusus tentang perkembangan tradisi keilmuan Islam di ]awa pada abad ke 19 belum banyak dilakukan padahal kawasan ini merupakan pusat lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam tradisional. Jika pada abad-abad awal pusat keilmuan Islam yang telah melahirkan sejumlah 'ulama' dan karya-karya besar berada di Pasai, Malaka kemudian Aceh, maka abad ke 19 pusat itu telah bergeser ke Jawa. Tulisan ini bermaksud menggambarkan soal pembentukan, perkembangan dan pengaruh tradisi keilmuan Islam yang meliputi unsur kelembagaan seperti mesjid, pelaku seperti santri-kiayi, sistem, metode, proses transmisi ilmu, buku-buku dan sarana-sarana lunak yang dipergunakan pada abad 19. Menurut penulis, sejak Islam mulai tumbuh di jawa sekitar abad ke 15 dan 16, pengajaran ilmu agama sebenarnya telah terjadi. Sejumlah sarjana Barat seperti Drewes (1968) telah menunjukkan bahwa karya-karya Islam seperti Ihya' 'Ulum al-Din dan al-Tamhid telah dijadikan sebagai rujukan. Saat jalan perdagangan semakin mudah karena dibukanya Terusan Suez, dan lahir sejumlah orang kaya baru pemilik perkebunan teh dan tebu di jawa, dan semakin meningkatnya kesadaran beragama di kalangan masyarakat, maka sekitar pertengahan abad ke 19 orang jawa telah banyak pergi haji dan menuntut ilmu di Mekkah. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi 'ulama' besar seperti Syek Nawawi al-Bantani dan Syekh Mahfudh al- Termasi. Namun, sejalan dengan pendapat Azra, kontak intelektual sebenarnya telah terjadi sejak abad 17 dan prosesnya Lebih banyak dilakukan oleh para 'ulama Melayu-Sumatra seperti al-Palimbani. Dari sanalah tradisi kemudian memasuki wilayah jawa pada abad 19. Melalui pintu ini pemikiran al-Hallaj dan tasauf al-Ghazali tersebar di ]awa. Tetapi dari mana asal usul tradisi pesantren? Sejalan dengan Van Bruinessen, tradisi pesantren tidaklah berasal dari madrasah bertipe Uthmani. Pengaruh datang melalui hubungan dengan lembaga yang bermazhab al-Syafi'i seperti madrasah India Shaulatiyyah di Mekkah dan al-Azhar di Mesir. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa lembaga-lembaga ini mempunyai kesamaan dengan model, kurikulum dan afiliasi mazhab pesantren-pesantren di Indonesia pada abad 18-19. Dalam pengamatan penulis, tingkat perkembangan tradisi keilmuan Islam tradisional mempunyai korelasi positif dengan intensitas keterlibatan 'ulama' dalam interaksi intelektual di dunia luar. Ia menegaskan bahwa semakin banyak para 'ulama' Jawa terlibat dalam diskursus keilmuan di Haramain pada abad ke 19 semakin banyak pula jumlah pesantren atau tempat-tempat belajar informal yang lain di ]awa. Van den Berg mencatat 14.929 lembaga pendidikan tradisional di ]awa dan Madura. Hal itu karena dengan pondokan, mesjid dan kiayi yang tinggal bersama para santri sangat mungkin untuk mekembangkan tradisi keilmuan Islam. Apalagi pesantren bersifat egaliter, terbuka dan mudah berintegrasi dengan masyarakat. Secara intern, para kiayi sendiri mengembangkan jaringan intelektual yang tidak terbatas melalui pengajaran melainkan juga transmisi otoritas seperti dalam tareqat di mana satu generasi tidak terputus dari generasi lainnya, satu pesantren mempunyai hubungan dengan pesantren lainnya. Bahkan hubungan juga dibentuk melalui jaringan kekeluargaan. Selajutnya, tradisi keilmuan Islam tradisional juga dijaga melalui karya-karya mereka sendiri. 'Ulama' Jawa abad 19 ialah periode 'ulama' paling produktif. Syekh Nawawi al-Bantani {1813}, Ahmad Rifa'i al-Kalisalaki {1786-1875) dan Syekh Mahfudh al-Tarmasi adalah di antara contohnya. Dengan karya-karyanya, para 'ulama' berusaha melestarikan tradisi salaf Sementara para 'ulama' berikutnya memandang pandangan yang diwariskan generasi sebelumnya masih relevan. Karena itulah, kebiasaan menulis di kalangan 'ulama' mengalami kepunahan. Tradisi keilmuan Islam (pesantren) mempunyai pengaruh besar terhadap proses Islamisasi. Dengan adanya mesjid, tareqat, surau-surau, pengajian, Islam dapat meluas dari pusat kerajaan sampai ke pelosok· pelosok. Pengaruh sosial-politiknya dapat dilihat pula melalui gerakan protes petani Banten (1888}. Dalam pemikiran, tradisi keilmuan Islam ternyata telah menggeser tradisi keilmuan kejawen, seperti terlihat dari populernya alif- ba-ta-tha dibanding ha-na-ca-ra-ka dari bahasa Sansekerta. Di kota seperti Solo akan lebih mudah ditemukan penerbit dan toko kitab kuning daripada buku kejawen.