Daftar Isi:
  • Kabupaten Bintan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, dengan luas wilayah 87.777,84 Km2, sebagai daerah kepulauan 98,51 % wilayahnya adalah laut. Kawasan pengelolaan perikanan tangkapnya terdiri dari Laut Cina Selatan, Laut Natuna dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Baik kawasan pengelolaan perikanan tangkap maupun kawasan yang potensial untuk budidaya laut mempunyai karakteristik yang sama dengan Provinsi Kepulauan Riau. Kegiatan sub sektor perikanan laut pada tahun 2007 memberikan kontribusi kepada daerah melalui produksi perikanan laut sebesar 18.577,60 ton dengan nilai Rp 107.702.310.- Proporsi kontribusi dari sub sektor produksi perikanan laut tersebut, didominasi oleh sub sektor perikanan tangkap yakni sebesar 99 % (18.392,10 Ton) sedangkan budidaya laut hanya berkontribusi 1 % (185,50 Ton). Kondisi di atas menunjukkan bahwa budidaya laut belum berkembang dengan baik mengingat luas kawasan yang berpotensi untuk budidaya laut adalah 227,050 hektar, sedangkan pemanfaatannya hanya 10,42 hektar. Saat ini jumlah produksi ikan laut untuk memenuhi konsumsi Kabupaten Bintan masih cukup. Konsumsi ikan penduduk Kabupaten Bintan adalah 96,45 kilogram per orang per kapita per tahun untuk jumlah penduduk 121.303 orang (jumlah penduduk tahun 2007). Artinya, daerah hanya membutuhkan 11.699,7 ton per tahun. Sisa produksi sebesar 6.877,90 ton dari produksi tahun 2007 tersebut dapat diarahkan ke pasar antar pulau dan ekspor. Tetapi kondisi di atas tidak permanen, akan mengalami fluktuasi ketika pertambahan penduduk daerah terjadi. Bahkan cenderung mengalami kenaikan tiap tahunnya, sehingga kebutuhan ikan juga cenderung naik. Pemenuhan kebutuhan ikan bagi penduduk di masa datang yang cenderung naik, dan agar tidak terjadi kelangkaan pangan di Kabupaten Bintan, tidak hanya mengandalkan sub sektor perikanan tangkap saja. Hal ini karena adanya isu overfishing pada sekitar pengelolaan perikanan tangkap nelayan-nelayan Kabupaten Bintan . Hal lain yang lebih penting adalah bahwa sumberdaya perikanan tangkap termasuk sulit untuk proses renewable. Apalagi jika pengelolaannya tidak berdasarkan pada tata kelola lingkungan yang baik, misalnya penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau alat tangkap yang tidak diperbolehkan. Oleh karena itu peran sub sektor budidaya laut perlu ditingkatkan mengingat kontribusinya saat ini masih sangat kecil pada produksi perikanan, sementara potensi pengembangan sub sektor tersebut cukup besar. Usaha budidaya ikan laut dengan menggunakan teknik keramba jaring apung (KJA) lebih efisien dari segi biaya daripada teknik tambak di kawasan teluk atau perairan tertutup yang sifatnya permanen dan rentan terhadap konflik kepemilikan lahan atau tanah. Selain itu keramba jaring apung termasuk alat produksi yang fleksibel, karena bila tidak berproduksi keramba dapat didaratkan untuk menjaga keamanan dan pemeliharaannya. Salah satu jenis ikan laut yang dibudidayakan dengan menggunakan teknik keramba jaring apung adalah dari jenis ikan kerapu. Ikan kerapu adalah jenis ikan laut yang hidup di daerah karang dan mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Jenis–jenis ikan kerapu yang banyak dibudidayakan di daerah Bintan adalah kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Ephinephelus colodes), kerapu sunu (Plectropoma spp), dan kerapu tikus/bebek (Chromileptes altivelis). Budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung di Kabupaten Bintan telah mulai diusahakan, tetapi belum berkembang dengan baik. Pemanfaatan lahan yang berpotensi untuk usaha budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung masih relatif kecil yaitu 10,42 hektar, selain itu, jumlah produksinya juga masih rendah, disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan penguasaan teknologi oleh petani, kendala untuk mendapatkan pasokan benih kerapu, serta adanya pengaruh lingkungan dari kegiatan penambangan pasir darat akibat tata ruang pengelolaan kawasan yang masih belum teratur. Mengingat potensi kawasan untuk usaha budidaya yang relatif luas, nilai ekonomis ikan kerapu yang tinggi, dan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung (KJA), maka kebijakan pemerintah di sektor pembangunan perikanan perlu ditingkatkan agar lebih terarah. Upaya pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung (KJA) dipengaruhi oleh berbagai aspek meliputi aspek sumberdaya manusia, permodalan, sumberdaya alam, teknologi, informasi, lingkungan industri, pemasaran, kelembagaan serta aspek kebijakan maupun peraturan yang mendukung. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi dan menentukan keberhasilan peningkatan produksi serta pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung (KJA). Selain itu juga bertujuan untuk merumuskan dan merekomendasikan strategi yang tepat dalam upaya pengembangan usaha budidaya ikan kerapu tersebut. Analisa matriks EFI dan EFE bertujuan untuk memantau lingkungan internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bintan dalam mencapai tujuan. Berdasarkan evaluasi matriks EFI faktor internal yang merupakan kekuatan meliputi : potensi sumberdaya perairan untuk lahan budidaya keramba jaring apung (KJA), potensi sumberdaya manusia (petani dan nelayan) secara kuantitas sebagai pelaku budidaya ikan kerapu, keberadaan sumberdaya aparat Dinas Perikanan dan Kelautan sebagai pembina, program kerja Dinas Perikanan dan Kelautan yang mendukung kegiatan budidaya ikan kerapu, dan keberadaan koperasi dan kelompok tani/nelayan budidaya ikan kerapu. Faktor internal yang menjadi kekuatan utama adalah program kerja Dinas Perikanan dan Kelautan yang mendukung kegiatan budidaya ikan kerapu dengan bobot 0,084 dan peringkat 4, sehingga diperoleh rata-rata tertimbang 0,296. Faktor internal yang merupakan kelemahan adalah akses terhadap lembaga permodalan terbatas, kemampuan penguasaan teknologi budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung (KJA) masih rendah, tata ruang wilayah untuk kegiatan perikanan masih belum jelas, sarana dan prasarana belum memadai, akses untuk mendapatkan bibit ikan kerapu masih terbatas, kemampuan manajemen petani dan nelayan budidaya ikan kerapu kurang, koordinasi antar lembaga terkait lemah, dan pakan masih tergantung pada alam (hasil tangkap ikan rucah). Faktor internal yang menjadi kelemahan utama adalah kemampuan penguasaan teknologi budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung (KJA) masih rendah dengan bobot 0,084 dan peringkat 2, sehingga diperoleh rata-rata tertimbang 0,156. Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari matriks EFI sebesar 2,340. Kondisi tersebut menunjukkan secara internal posisi Dinas Perikanan dan Kelautan saat ini lemah dalam memanfaatkan kekuatan-kekuatan dan berupaya untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada. Berdasarkan evaluasi matriks EFE faktor-faktor lingkungan eksternal secara mikro (lingkungan industri) yang mempengaruhi adalah : ancaman masuknya pendatang atau pesaing baru, kekuatan tawar menawar produsen (petani dan nelayan pembudidaya), kekuatan tawar menawar pembeli, ancaman produk pengganti (substitusi), dan persaingan usaha dalam industri budidaya ikan kerapu. Berdasarkan proses rata-rata yang sangat berpengaruh dan menjadi ancaman adalah masuknya pesaing baru dengan skor 2,99. Faktor-faktor lingkungan eksternal secara makro yang menjadi peluang adalah : otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk menggali dan mengelola potensi daerah, letak geografis Kabupaten Bintan berada di jalur pelayaran dan perdaganganan internasional khususnya ASEAN, merupakan peluang ekspor, kebijakan nasional dalam pengembangan dan pemberdayaan kegiatan budidaya perikanan, membuka kesempatan bekerja dan berusaha, terjalinnya kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dan nelayan dengan pengusaha/eksportir ikan kerapu, terbukanya Free Trade Zone (FTZ) tahun 2006 untuk daerah Batam, Bintan dan Karimun, permintaan terhadap ikan kerapu cenderung meningkat, dan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat. Dari hasil evaluasi yang menjadi peluang utama adalah permintaan terhadap ikan kerapu yang cenderung meningkat dengan bobot 0,107 dan peringkat 3 sehingga diperoleh rata-rata tertimbang 0,313. Faktor-faktor lingkungan eksternal yang menjadi ancaman adalah : pencemaran lingkungan perairan yang dapat menurunkan produksi ikan kerapu, serangan hama dan penyakit terhadap ikan kerapu, ancaman masuknya pendatang/pesaing baru, dan biaya transportasi yang tinggi menjadi kendala dalam memasok bibit dan pemasaran hasil. Dari hasil evaluasi yang menjadi ancaman utama adalah pencemaran lingkungan perairan yang dapat menurunkan produksi ikan kerapu, yang tunjukkan oleh nilai bobot tertinggi sebesar 0,106 dan peringkat 2, sehingga rata-rata tertimbang 0,222. Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari matriks EFE sebesar 2,370. Kondisi tersebut menunjukkan secara eksternal posisi Dinas Perikanan dan Kelautan saat ini lemah dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada dan berupaya untuk mengatasi pengaruh negatif dari ancaman lingkungan eksternal. Faktor internal dan eksternal yang telah ditetapkan, kemudian disusun dalam bentuk matriks TOWS, untuk menentukan alternatif strategi yang dapat dikembangkan dalam upaya pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung (KJA). Berdasarkan rumusan strategi yang didapat dari matriks TOWS, dibuat empat set alternatif strategi yang meliputi: (1) meningkat kapasitas produksi ikan kerapu melalui penumbuhan dan pengembangan usaha-usaha budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung (KJA) berskala kecil dan menengah dengan pola kemitraan di kawasan-kawasan yang potensial, (2) meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi dan manajemen budidaya untuk para petani dan nelayan sebagai pelaku usaha budidaya ikan kerapu melalui pelatihan (workshop) oleh Dinas Perikanan dan Kelautan serta Dinas/Instansi terkait lainnya, (3) melakukan sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2007 tentang RTRW Kabupaten Bintan dan penertiban izin usaha yang memanfaatkan sumberdaya perairan, dan (4) meningkatkan koordinasi dengan semua lembaga terkait termasuk lembaga permodalan dalam membuat kebijakan dan regulasi yang menyangkut penumbuhan dan pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan teknik keramba jaring apung (KJA) berskala kecil dan menengah. Dari empat strategi yang dikembangkan, untuk menentukan strategi prioritas, dilakukan analisa QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix). Berdasarkan analisa QSPM, penentuan prioritas strategi ditentukan oleh total data tarik/Total Attractiveness Score (TAS) dari suatu strategi dikalikan dengan bobot yang telah diperoleh dari matriks EFI dan EFE. Hasil TAS dari empat strategi di atas adalah: 4,49 untuk strategi I, 4,61 untuk strategi II, 4,55 untuk strategi III, dan 4,33 untuk strategi IV. Berdasarkan nilai TAS, maka strategi prioritas pertama dilakukan adalah meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi dan manajemen budidaya untuk para petani dan nelayan sebagai pelaku usaha budidaya ikan kerapu melalui pelatihan (workshop) oleh Dinas Perikanan dan Kelautan serta Dinas/Instansi terkait lainnya. Penentuan prioritas tersebut hanya merupakan penentuan urutan dari strategi yang akan dikembangkan dan strategi lain juga perlu dilaksanakan untuk mendukung strategi prioritas. Berdasarkan strategi prioritas, direkomendasikan peningkatan penguasaan teknologi budidaya ikan kerapu lainnya, berupa penguasaan teknologi pembesaran, perawatan/pencegahan penyakit ikan kerapu, pakan, pasca panen, serta teknologi transportasi ikan kerapu secara terintegrasi, dan dipadu dengan kemampuan manajemen budiaya melalui kegiatan pelatihan atau magang di institusi atau lembaga terkait yang berkompeten di bidang tersebut. Implementasi dan rekomendasi strategi di atas diharapkan, akan menjadi jalan keluar terbaik bagi petani dan nelayan dan Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Bintan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi selama ini.